Senin, 29 November 2010

Tradisi Budaya dan Masuknya budaya luar di Surakarta

Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar sebagai Frame of Refernce yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok. Sebagai kerangka acuan kebudayaan merupakan serangkaian nilai yang telah disepakati dan mengatur bagaimana sesuatu yang bersifat ideal diwujudkan. Kebudayaan sebgai simbol (materi) merujuk pada bagaimana budaya “dimanfaatkan” untuk menegaskkan batas-batas kelompok.
Kebudayaan bagi suatu kelompok telah menjadi standar ukuran dalam menilai dan mewujudkan tingkah laku. Nilai baik dan buruk kemudian diukur berdasarkan ukuran yang berlaku dan telah disepakati dan dijaga. Kebudayaan ideel yang biasa disebut adat tata kelakuan atau secara singakat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Kebudayaan ideel yang berfungsi sebagai pengatur kelakuan, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsinya secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah sistem nilai budaya kemudian pada lapisan yang kedua yaoiut sistem norma-nomra adalah lebih konkret dan sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma adalah lebih konkret lagi, sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya.
Secara umum budaya masyarakat Surakarta sama seperti budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Sebagai salah satu kota budaya Jawa, maka masyarakat Solo dengan sendirinya masih sangat lekat dengan sejarah dan warisan para leluhurnya. Keyakinan terhadap tingginya nilai-nilai budaya Jawa termasuk landasan filosofinya menjadi ajaran yang perlu untuk diingatkan dan disadarkan kembali.
Orang Jawa tidak terkecuali Surakarta termasuk peka dan bangga terhadap budayanya. Berbicara tentang budaya Jawa terdapat beberapa tradisi sikap, filosofi kehidupan dan penyampaian pendapat yang tidak mudah dimengerti oleh orang yang belum mengenal dan menghayati budaya Jawa.
Pergantian slogan dari “Solo kota budaya” menjadi “Spirit Of Java” bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat masa lalu yang telah hilang lewat slogan baru tersebut. Tidak hanya ingin mengenalkan peri kehidupan Jawa, Solo lewat slogan tersebut tampaknya ingin membangun diri agar menjadi jiwanya jawa. Selain itu, slogan tersebut bukan saja hanya slogan menyombongkan kota Surakarta, fakta telah membuktikan bahwa Solo adalah pusat kota budaya. Sejak zaman kerajaan mataram yang diperintah oleh raja Pakubuwono II, kota Solo terkenal menjadi kota yang menjunjung tinggi kebudayaan sendiri.
Kebudayaan Jawa yang hidup di Surakarta merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di Keraton. Sesungguhnya peradaban itu adalah bagian atau unsur kebudayaan yang mengutamakan aspek kehalusan dan keindahan. Peradaban keraton itu meliputi kesusastraan (bahasa), seni tari, seni suara dan upacara-upacara yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejak empat atau lima abad yang lalu.
Ketika kota Surakarta tumbuh semakin mantap, terjadi dialog juga antara tradisi dan kota. Dalam hal ini kota mampu menyerap dan mengembangkan secara kreatif seni pertunjukan istana atau pun rakyat. Wayang orang panggung adalah contoh hasil kreativitas kota. Ketika itu wayang wong Istana Mangkunegaran yang mencapai puncak kemegahan di bawah patronanse Mangkunagara V, terpaksa mandeg karena istana itu dilanda krisis ekonomi. Dalam kemandegan itulah di luar istana lahir wayang orang panggung untuk dikomersialkan.
Sebagai kota budaya, maka sudah sepantasnya kota Surakarta masih memilki sisa-sisa warisan tersebut, selain berupa bangunan fisik (keraton), juga sistem perilaku dan norma-norma masih mengental di sanubari masyarakat kota Surakarta. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota Surakarta mengenal apa yang dinamakan berbagai bentuk tari-tarian, tata busana ala kerajaan, sistem bahasa, bangunan rumah, bentuk-bentuk upacara, dan lain sebagainya.
Pengaruh suatu budaya baru terhadap budaya lama dapat mengakibatkan pergeseran atas suatu identitas budaya masyarakat pendukungnya. Dengan demikian perubahan tersebut akan berakhir pada perubahan pengaruh dalam pandangan jiwa etnis tertentu dalam hal ini etnis Jawa, baik berdampak positif maupun negatif. Dampak Positif akan muncul apabila proses penetrasi budaya luar dan penegakannya akan kondisi yang telah ada menerima sehingga terjadi inkulturasi budaya. Dampak negatif akan terjadi apabila terdapat sikap menolak terhadap datangnya unsur-unsur budaya asing yang baru dan berujung akan kemunculan reaksi dari masyarakat yang menerimanya.
Era globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respon ketat karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan kekayaan bagi kelompok dan masyarakat. Proses ini telah memaksa pasar menjadi kekuatan ekonomi yang dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-prinsip komunikasi padat dan canggih. Pasar disamping telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitasi batas-batas sosial juga mengaburkan batas-batas itu sendiri sehingga mengakibatkan berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat.
Globalisasi telah mengikis apa yang selama ini mengakar dalam diri orang Jawa. Generasi-generasi yang begitu mengagungkan nilai-nilai kehidupan ala Jawa dianggap sebagai orang-orang kolot dan digantikan oleh generasi-generasi yang mengagunkan globalisasi, generasi-generasi yang ingin menjadi globalis tapi masih berpikiran lokal. Hal ini pulalah yang menghancurkan peri kehidupan saat ini. Di sisi lain, orang ingin tampak maju dengan mengkonsumsi food, fashion dan fun ala barat akan tetapi tidak mampu mengkonsumsi semangat hidup yang positif sehingga hal ini melahirkan generasi-generasi yang mengalami suatu krisis identitas.
Salah satu visi dari kota Surakarta adalah mewujudkan kota Surakarta sebagai kota budaya dengan pemberdayaan dari berbagai aset, baik ekonomi, sosial maupun budaya itu sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya Surakarta sangat jauh dari semangat mempertahankan Surakarta sebagai Kota budaya. Kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya nenek moyang sangat memprihatinkan. Selain banyaknya kerusakan-kerusakan, hal ini diperparah dengan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelestarian terhadap cagar budaya yang ada di kota Surakarta.
Wong Jowo ilang Jawane, sebuah sindiran dimana menggambarkan suatu refleksi dari sebuah pengalaman yang panjang dari perjalanan masyarakat Solo. Wong Jowa sendiri masih ada secara etnis. Hal itu bisa dilihat dari ciri-ciri fisik, nama, aksebtuasi dan pelafalan, adat maupun karakteristik makanannya. Citra orang Jawa yang selalu berpegang pada prinsip-prinsip budaya adi luhung sekarang tinggal kata-kata karena hanya dirumuskan dalam kata-kata saja, sedangkan dalam praktek sehari-hari sudah jauh dari itu. Dengan adanya kebudayaan lain yang masuk, Pengertian untuk menggali budaya dan filosofi Jawa juga sudah mulai terkikis sehingga tinggal ilmunya dan implementasi dalam kehidupan itu sudah tidak ada dan perlu digali kembali. Budaya luar yang syarat dengan muatan matrealisme dan hedonisme masuk dan akhirnya mempengaruhi kebudayaan yang sudah ada.
Pembangunan ekonomi yang begitu pesat, dengan ditandai berdirinya bangunan-bangunan yang berdiri kokoh di beberapa sudut kota Solo. Hal ini menandakan telah terjadinya suatu pergeseran budaya dari budaya asli Solo ke budaya kapitalis. Di dalam era globalisasi, Solo sendiri seakan berada dalam kondisi yang dilematis. Di satu sisi berusaha untuk mempertahankan budaya, namun disisi lain harus mengikuti arus perkembangan zaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar