Senin, 29 November 2010

Peran Wanita Dalam Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa seiring perkembangan adat dari masa Jawa Kuna memiliki sifat patriarkhi yang begitu kental denga

Masyarakat Jawa seiring perkembangan adat dari masa Jawa Kuna memiliki sifat patriarkhi yang begitu kental dengan menonjolkan peranan dominan kaum pria, sedang kaum wanita memperoleh kedudukan serta peranan yang tidak terlalu menonjol. Pada hakekatnya dalam masyarakat patriakhi dominasi pria meliputi berbagai aspek kehidupan antara lain bidang sosial, politik, sosio-kultural, religius. Dalam lingkungan keluarga, pria menjadi kepala keluarga mempunyai kekuasaan sebagai pemberi keputusan, sebagai pencari nafkah, jabatannya menentukan status keluarga, penentu garis keturunan, pemimpin kerabat. Selain itu, peranan seksualitas dominan dengan adanya lembaga poligami.
Lelaki dilihat mempunyai model yang ditegaskan dengan sifat-sifat otoriter, kejantanan fisik (kuat dan terampil), dinamis dan aktif. Pihak lelaki dengan demikian lebih banyak berkomunikasi ke luar, bertindak, bertanggungjawab, dan produktif. Berbeda dengan peranan perempuan sebagai ibu secara wajar menciptakan peranan pendidikan anak-anak serta segala pengaturan rumah tangga. Tidak mengherankan apabila peranan perempuan lebih pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga ada istilah “kanca wingking” bagi para suami. Wanita tidak banyak bertindak ke luar, lebih statis dan pasif, tunduk dan taat kepada kepala keluarga. Fungsi sosial dan ekonomi wanita berbeda dari pria, dan secara keseluruhan status wanita dianggap rendah. Meskipun terdapat banyak perbedaan lokal, posisi sosial wanita bagaimanapun lebih baik jika dibandingkan hak-hak wanita di banyak negara di Asia. Dalam bidang pertanian, tempat wanita mempunyai fungsi ekonomi yang sangat penting, posisi mereka sama sekali tidak direndahkan.
Pandangan mengenai anggapan rendahnya kedudukan wanita disebabkan karena sejak awal menurut adat tradisi selalu ditekankan perbedaan perlakuan antara pria dan wanita, salah satunya dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi kaum wanita belum bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat umum. Di pedesaan bagi banyak keluarga petani, sekolah hanya merupakan suatu hal yang baru. Anak dari keluarga petani di pedesaan umumnya tidak mengenal akan pentingnya pendidikan. Bagi mereka seorang anak, apalagi anak perempuan hanya berkewajiban untuk membantu orang tuanya meningkatkan ekonomi keluarga dengan melakukan pekerjaan di sawah atau perkebunan-perkebunan swasta atau di pabrik. Kondisi ini menunjukkan adanya keluguan atau kebutaan ekonomi perempuan desa yang sederhana, perempuan miskin yang tidak berdaya. Pandangan tentang penduduk desa kebanyakan masih bodoh, yang berarti masih belum berpendidikan.
Bagi keluarga-keluarga priyayi sekolah merupakan sesuatu hal yang penting. Ketika belum ada sekolah bagi penduduk pribumi, para keluarga priyayi yang berpangkat tinggi dan para keluarga bangsawan sering mendatangkan guru-guru Belanda untuk mengajar anak-anak mereka di rumah. Mereka mendapat pelajaran umum yang diajarkan di sekolah-sekolah seperti pelajaran berhitung, ilmu bumi, sejarah, mengarang, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga belajar mengenal tata cara serta adat istiadat kehidupan Belanda, sehingga dari sini mereka mulai mendapat pengaruh nilai budaya Belanda dan Eropa Barat.
Bagi pria dari kalangan keluarga priyayi sejak kecil sudah mendapat hak untuk mengenyam pendidikan hingga dewasa. Ketika sekolah-sekolah kejuruan untuk para pegawai Pangreh Praja dibuka, banyak anak pegawai tinggi menjadi murid di sana, dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan sebagai Pangreh Praja kelak, yakni menjadi pejabat kerajaan. Berbeda bagi anak-anak wanita yang dianggap tidak pantas untuk pergi sekolah, mereka harus tinggal di rumah atau dikenal dengan istilah dipingit dan belajar mengurus rumah tangga dengan baik. Biasanya anak wanita yang mulai dipingit usianya berkisar 10-12 tahun. Pingitan ini diberlakukan bagi anak-anak gadis kalangan priyayi atau bangsawan dengan tujuan untuk nantinya bila sudah saatnya akan dijodohkan dengan pria yang menjadi pilihan orang tuanya sebagai bentuk penguatan prestise jabatan bagi orang tua atau ayahnya. Mulai dari sinilah muncul pandangan bahwa peranan pria lebih dominan dan kedudukan wanita dipandang terlihat lebih rendah.
Bagi perempuan, dianggap sebagai lambang “tradisi” karena mereka “secara alami” menjalani ritual keluarga, pekerjaan, dan agama mereka sehari-hari. Perempuan cenderung merupakan penengah antara “inovasi dan tradisi” dan yang menjadi penengah antara dorongan yang berorientasi masa depan, dan yang masih berpegang mempertahankan tradisi masa lampau. Kodrat wanita sebagai ibu dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga berbaur dengan penghargaan terhadap adat. “Tradisi” mencakup berbagai kebiasaan pribadi atau kebiasaan budaya yang tanpa terasa senantiasa berubah. Ritual dan rutinitas perempuan di dalam kehidupan sehari-hari, pada gilirannya merupakan patokan yang dipakai untuk mengukur makna dan “keaslian” tradisi.
Secara umum dalam masyarakat tradisional dan patriarkhal bukan hal yang menakjubkan apabila kedudukan serta peranan pria adalah dominan. Ada pembagian kerja yang terlihat menonjol antara pria dan wanita. Fungsi-fungsi sosial para pria mencakup kegiatan yang dinamis dan mobilitas yang tinggi dan secara umum menuntut kekuatan fisik yang lebih besar. Wajah wanita lebih dilihat dari model kehalusan, kelemahlembutan, kesederhanaan, kerendahhatian, berperasaan halus, dan peka. Ini menjadi daya tarik bagi lawan jenisnya. Nilai-nilai keperawanan, kemurnian, kehalusan, dan ketenangan sangat dijunjung tinggi, kondisi ini dituntut oleh kaum pria yang mencari jodohnya. Di sini dominasi pria menonjol, sebab wanita dianggap sebagai obyek seksualitasnya dituntut persyaratan yang tidak berlaku bagi si pria sendiri. Dominasi pria seharusnya tidak memojokkan dan memerosotkan kedudukan wanita hanya obyek seksual suatu fungsi sosio-biologis belaka, namun setidaknya keberadaan wanita mampu menjadi pelengkap bagi kehidupan kaum pria.
Kehidupan seks manusia memang sering mewarnai dan mempengaruhi tiap perilaku seseorang. Budaya Patriakhi (kebapakan) selalu menyudutkan kaum permpuan, membuat perempuan tidak memiliki kebebasan atas diri dan tubuhnya sendiri. Di bumi nusantara khususnya Jawa, budaya ini masih berperan dominan dan berakar kuat di masyarakat, dalam kehidupan politik, budaya, dan keagamaan. Dari zaman ke zaman ini adalah suatu bentuk ketimpangan dalam perlakuan adil terhadap hak perempuan dalam masyarakt, padahal antara lelaki dan perempuan memiliki kesetaraan hak baik secara materi maupun spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar