Senin, 29 November 2010

Perseliran dan Pergundikan

Anggapan wanita menjadi dominasi bagi pria dapat dilihat dalam pola perseliran di kalangan raja-raja dan bangsawan serta priyayi atau pejabat tinggi dan pergundikan di kalangan orang-orang Eropa. Beberapa orang selir raja adalah putri-putri bangsawan yang dengan sengaja diserahkan ayahnya sebagai tanda kesetiaan dan sebagian lagi sebagai persembahan dari kerajaan-kerajaan lain. Ada pula selir yang berasal dari masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan keluarganya dengan tujuan untuk meningkatkan posisi keluarga agar memiliki hubungan darah dengan keluarga istana. Semakin banyak jumlah selir yang dimiliki raja tentu banyak pula keturunan raja, sehingga ini dianggap menjadi penanda kuatnya kedudukan raja di mata rakyatnya. Tidak jarang perempuan-perempuan desa diangkut ke istana untuk dijadikan ‘istri-istri percobaan’ bagi raja atau para pangeran sampai diperoleh perempuan sederajat yang akan dinikahi secara resmi oleh raja atau para pangeran. Istri percobaan ini dapat diusir sewaktu-waktu dari istana dan mereka tidak berhak mengasuh anak yang dilahirkannya hasil hubungan dengan raja atau pengeran.
Selir dalam bahasa Jawa halus disebut garwa ampeyan, seorang wanita yang telah diikat oleh tali kekeluargaan oleh seorang lelaki, tetapi tidak berstatus istri. Status selir di bawah istri dan tugasnya membuat laki-laki itu selalu senang. Itu sebabnya, selir juga disebut klangenan. Peran selir dan permaisuri berbeda. Permaisuri resmi mendampingi raja sehari-hari dalam urusan kerajaan, sementara para selir hanya melayani kebutuhan raja dalam hal “urusan belakang”. Segi lain dari perseliran, yakni soal seks. Sebagai seorang raja, citranya akan menurun bila jajan di sembarang tempat. Banyak cara untuk menjadi selir salah satunya menjadi penari bedoyo, ini sebuah modus agar raja sempat melihat penari tersebut. Jika raja tertarik, penari bedoyo naik pangkat menjadi peloro-loro. Bila suatu hari raja memerintahkan punggawanya membawa seorang peloro-loro ke kamar, itulah awalnya gadis penari menjadi selir, dan keluarga wanita itu akan bangga sekali.
Pergundikan di kalangan orang Eropa juga merupakan suatu bentuk dominasi pria terhadap wanita. Mereka yang menjadi gundik dikenal dengan sebutan nyai. Menjadi seorang nyai bagi pria Eropa bukan suatu pilihan seorang wanita pribumi. Untuk menjadi nyai tidak selalu berawal dari menjadi babu bagi orang Eropa, meskipun sebagian besar berawal dari menjadi babu. Biasanya nyai yang berawal dari seorang babu berasal dari kalangan masyarakat rendah atau keluarga petani. Mereka menyerahkan anak perempuannya kepada para tuan Eropa demi meningkatkan ekonomi. Selain berawal dari seseorang menjadi babu, ada pula nyai dari kalangan priyayi yang diserahkan ayahnya demi mengamankan kedudukan dan jabatan sang ayah. Tentunya nyai dari kalangan priyayi kedudukannya dipandang lebih tinggi dibandingkan dengan nyai yang berawal dari seorang babu. Posisi nyai tidak dapat disamakan dengan selir di kalangan bangsawan penduduk pribumi. Selir adalah istri yang dinikahi secara resmi tetapi kedudukannya lebih rendah dari istri pertama. Sedangkan nyai adalah perempuan simpanan yang tidak dinikahi secara resmi. Nyai hanya dianggap sebagai istri sementara tanpa didasari suatu ikatan resmi, sewaktu-waktu seorang nyai dapat ditinggalkan oleh suaminya tanpa sanksi hukum.

1 komentar: