Selasa, 30 November 2010

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Dalam Penanganan Permasalahan Pelacuran Di Kota Surakarta

Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan kultural tidak bisa dilepaskan dari kawasan penyangga yang terdiri dari Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Sragen dan Karanganyar. Kota Solo merupakan titik tengah dari daerah-daerah disekitarnya sealigus merupakan kawasan strategis serta pusat kegiatan dalam lingkup regional Jawa Tengah dan nasional. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan dan akselerasi pembangunan kota juga berpoensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota lainnya.
Salah satu permaslahan yang lazim muncul yang mengiringi perkembangan sebuah kota adalah keberadan perempuan yang dilacurkan atau yang sering disebut Wanita Tuna Susial (PSK) dan perdagangan orang untuk tujuan seksual. Permasalahan pelacuran yang secara politis dan regulatif telah dilarang dengan Peraturan Daerah, namun pada kenyataannya di lapangan PSK masih melakukan prakteknya. Sejalan dengan prioritas penanganan permasalahan kota, maka permasalahan sosial menjadi salah satu prioritas penanganan. Sesuai dengan karakter permasalahan yang multi dimensional, lintas sektor dan ruang, maka penanganan PSK dalam tantaran konsep dan operasional (anggaran) akan dilakukan secara komprehensip, lintas sektor dan proposional. Model penanganan ini diharapkan permasalahan di kota Surakarta dapat direduksi pada tingakatan seminimal mungkin, berkesinambungan dan berkelanjutan. Ide dasar munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di kota Surakarta merupakan penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Suraarta Nomor 462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi kota (RAK) penghapusan Eksploitasi seks komersial anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Pelaksanaan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penaggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam penanganan permasalahan pekerja seks komersial di kota Surakarta, Pemkot Surakarta bertanggung jawab untuk menciptakan suasana yang aman, nyaman, tenteram dan tertib dalam masyarkat.
Selain itu, dalam penanganannya Pemkot bertanggung jawab memberikan bantuan yaitu berupa pembinaan dan bimbingan serta rehabilitasi pekerja seks komersial yang bertujuan agar mereka tidak terjun ke dunia pelacuran lagi. Selanjutnya untuk mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan eksploitasi seksual komersial pemkot menunjuk Dinas Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB) terutama Unit Kerja Teknis Bidang Sosial sebagai pelaksana dan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2006.
Unit Kerja Teknis Bidang Sosial kota Surakarta dalam penanganan permasalahan pelacuran memiliki peranan antara lain melakukan razia pekerja seks komersial, melakukan rehabilitasi dan memberikan rangsangan kepada para pekerja seks komersial tersebut untuk kembali ke masyarakat dengan memberikan bantuan mdal untuk berusaha dan tidak lagi menjajakan dirinya lagi. Dalam pelaksanaan razia Dinas Sosial bekerja sama dengan berbagai instansi seperti Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dan Poltabes Surakarta. Setiap instansi memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, Dinas Sosial selaku penanggung jawab operasi, Satpol PP selaku pelaksanan operasi dan kepolisian sebagai mitra Satpol PP dalam melakukan razia sedangkan Dinas Kesehatan sendiri bertugas untuk mencari dan mendata Pekerja Seks Komersial yang terjangkit penyakit menular seksual (PMS).
Wilayah-wilayah yang sering dijadikan target razia antara lain: kawasan RRI, Monumen Perjuangan 45 Banjarsari, Terminal Tirtonadi, Gilingan dan alun-alun kidul. Dalam operasi sering sekali terjadi kebocoran-kebocoran informasi sehingga ketika diadakan razia ke tempat-tempat tersebut sering sekali sepi aktifitas. Dalam pelaksanaan razia pekerja seks komersial dilakukan sebanyak 10 kali dalam satu tahun atau lebih tergantung dari anggaran yang diberikan oleh Pemkot Surakarta, serta bila mungkin ada bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maka frekuensi untuk melakukan Razia tersebut dapat ditambah.
Tingginya intesitas razia bertujuan untuk menciptakan suasana yang tertib dan aman di wilayah Surakarta. Dalam penanganan hasil razia ini sendiri juga memerlukan mekanisme tersendiri yang dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana PSK yang terjaring dalam razia dikumpulkan di Poltabes Surakarta setelah itu dilakukan identifikasi dan diadministrasi dengan tertib, pengidentifikasian dilakukan oleh tim pelaksana yang kemudian dilakukan pengambilan keputusan dari hasil pemeriksaan terebut dengan cara sebagai berikut:
1. Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang baru pertama kali terkena razia dapat diambil 2 tindakan dengan:
a. Membuat Surat Pernyataan yang isinya tidak akan mengulangi kembali kegiatan tersebut.
b. Dipulangkan ke daerah asal atau dikembalikan kepada keluarga untuk mendapatkan pembinaan dari keluarga.
2. Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang lebih dari satu kali terjaring razia dapat diambil tindakan diantaranya:
a. Diserahkan ke Panti Karya Wanita “Wanita Utama” untuk mendapatkan pendidikan ketrampilan selama 6 bulan.
b. Diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses melalui Pengadilan Negeri.
3. Bilamana ada kekeliruan dalam penjaringan / permohonan pelepasan dari keluarga yang terkena razia lebih dari 1 kali, harus melalui proses:
a. Dari pihak keluarga mengajukan permohonan secara tertulis kepada tim dengan disertai bukti-bukti pendukung antara lain Kartu Keluarga (KK), Fotocopy Surat Nikah dan mengisi surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Tim Pelaksana yang selanjutnya dilegalisir oleh kepala desa setempat.
b. Pelepasan bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan oleh Ketua Tim Pelaksana.

Hasil razia terhadap pelaku kegiatan komersialisasi seksual di kota Surakarta dalam tahun 2006 yang dilakukan oleh Satpol PP bersama instansi terkait adalah sebagai berikut:



Tabel 9
Hasil Razia PSK di Kota Surakarta Tahun 2006

No.
Bulan
Banyaknya Razia
Jumlah PSK
Yang Terjaring
1 Maret 2006 1 kali kegiatan razia 25 orang
2 Mei 2006 2 kali kegiatan razia 49 orang
3 Agustus 2006 4 kali kegiatan razia 101 orang
4 Oktober 2006 2 kali kegiatan razia 64 orang
5 Desember 2006 6 kali kegiatan razia 136 orang
Sumber: Satpol PP Kota Surakarta 2006
Dari data di atas dapat diketahui, bahwa tingginya intensitas razia yang dilakukan di kota Surakarta tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kegiatan pelacuran. Hal ini terbukti dari hasil yang terjaring dalam setiap kali melakukan razia dapat menjaring 20-30 pelacur serta masih saja kegiatan pelacuran di Kota Surakarta marak terjadi walaupun kegiatan razia sering kali dilakukan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial. Yang berbunyi, barang siapa karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan 5, dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Adapun unsur-unsur yang ada dalam Pasal 31 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 adalah sebagai berikut :
1) Barang siapa
2) Karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan perbuatan yang dimaksud ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5
3) Sanksi pidana kurungan 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan tindakan pidana prostitusi baik dengan pasangan sejenis dan atau lawan jenis.
(2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan prostitusi anak, baik dengan pasangan sejenis dan atau lawan jenis.
(3) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara dan atau pembeli jasa dalam kegiatan dimaksud ayat 1 dan 2.
(4) Setiap orang dilarang menyediakan tempat-tempat untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dimasud dalam ayat 1 dan 2.
Sedangkan Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan perdagangan orang untuk tujuan seksual
(2) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara dan atau pembeli jasa dalam kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1.
(3) Setiap orang dilarang menyediakan temapa-tempat untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1.


Di dalam penjelasannya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelacuran dalam pasal ini adalah termasuk ajakan membujuk, memiat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda-tanda atau perbuatan lainnya yang maksudnya mengajak untuk melakukan kegiatan seksual anak dan atau orang dewasa, baik dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, dengan pembayaran atau imbalan dala bentuk lain. Adapun yang dimaksud dengan tempat-tempat untuk melakuan pelacuran adalah hotel, losmen, salaon, tempat-tempat hiburan, rumah kost, tempat penginapan yang lain dan rumah penduduk termasuk tempat-tempat penampungan pekerja yang ditujukan untuk kegiatan eksploitasi seksual.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan publik yang bersifat Crucial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijaksanaan, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan bisa diwujudkan, demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun sebaiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa diwujudkan, sehingga kalau menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan juga telah diantisipasi untuk dapat diimplementasikan.
Sayangnya, dalam menerjemahkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam bentuk-bentuk program dan proyek pada saat implementasinya terdapat sandungan yang sangat berat : banyak diantara kebijakan-kebijakan itu tetap saja berupa pernyataan-pernyataan simbolis dari pemimpin politik atau berupa undang-undang ataupun peraturan, sementara kebijakan lainnya yang telah dilaksanakan ternyata hasilnya tidaklah seperti yang diharapkan.
Hal ini dapat dilihat, dimana sanksi yang tegas seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 ternyata tidak membuat jera pekerja seks komersial karena pada pelaksanaannya sangat jauh dari apa yang tertulis dalam Perda, dari beberapa kasus yang ada, dimana pelaku yang melakukan kegiatan prostitusi masuk dalam pelanggaran tindak pidana ringan (Tipiring) setelah melalui proses peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta hanya dijatuhi hukuman kurungan selama 10 hari dengan masa percobaan selama satu bulan serta terdakwa diharuskan mengganti biaya perkara seribu rupiah. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan hukum mengambil jalan yang lebih mudah yang penting sudah melaksanakan tugas dan kewenangannya masing-masing sedangkan hasil yang dicapai bukan mewujudkan tujuan Perda itu sendiri.
Efektifitas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 juga masih patut untuk dipertanyakkan, karena pelaksanaan Perda kurang mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota masyarakat, indikasinya pelacuran tetap saja marak dimana lokasi-lokasi yang menjadi tempat pelacuran tetap saja ramai, ketenangan masyarakat masih terganggu dengan adanya penularan penyakit mematikan, rumah tangga yang tidak harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar