Selasa, 30 November 2010

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Dalam Penanganan Permasalahan Pelacuran Di Kota Surakarta

Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan kultural tidak bisa dilepaskan dari kawasan penyangga yang terdiri dari Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Sragen dan Karanganyar. Kota Solo merupakan titik tengah dari daerah-daerah disekitarnya sealigus merupakan kawasan strategis serta pusat kegiatan dalam lingkup regional Jawa Tengah dan nasional. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan dan akselerasi pembangunan kota juga berpoensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota lainnya.
Salah satu permaslahan yang lazim muncul yang mengiringi perkembangan sebuah kota adalah keberadan perempuan yang dilacurkan atau yang sering disebut Wanita Tuna Susial (PSK) dan perdagangan orang untuk tujuan seksual. Permasalahan pelacuran yang secara politis dan regulatif telah dilarang dengan Peraturan Daerah, namun pada kenyataannya di lapangan PSK masih melakukan prakteknya. Sejalan dengan prioritas penanganan permasalahan kota, maka permasalahan sosial menjadi salah satu prioritas penanganan. Sesuai dengan karakter permasalahan yang multi dimensional, lintas sektor dan ruang, maka penanganan PSK dalam tantaran konsep dan operasional (anggaran) akan dilakukan secara komprehensip, lintas sektor dan proposional. Model penanganan ini diharapkan permasalahan di kota Surakarta dapat direduksi pada tingakatan seminimal mungkin, berkesinambungan dan berkelanjutan. Ide dasar munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di kota Surakarta merupakan penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Suraarta Nomor 462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi kota (RAK) penghapusan Eksploitasi seks komersial anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Pelaksanaan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penaggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam penanganan permasalahan pekerja seks komersial di kota Surakarta, Pemkot Surakarta bertanggung jawab untuk menciptakan suasana yang aman, nyaman, tenteram dan tertib dalam masyarkat.
Selain itu, dalam penanganannya Pemkot bertanggung jawab memberikan bantuan yaitu berupa pembinaan dan bimbingan serta rehabilitasi pekerja seks komersial yang bertujuan agar mereka tidak terjun ke dunia pelacuran lagi. Selanjutnya untuk mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan eksploitasi seksual komersial pemkot menunjuk Dinas Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB) terutama Unit Kerja Teknis Bidang Sosial sebagai pelaksana dan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2006.
Unit Kerja Teknis Bidang Sosial kota Surakarta dalam penanganan permasalahan pelacuran memiliki peranan antara lain melakukan razia pekerja seks komersial, melakukan rehabilitasi dan memberikan rangsangan kepada para pekerja seks komersial tersebut untuk kembali ke masyarakat dengan memberikan bantuan mdal untuk berusaha dan tidak lagi menjajakan dirinya lagi. Dalam pelaksanaan razia Dinas Sosial bekerja sama dengan berbagai instansi seperti Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dan Poltabes Surakarta. Setiap instansi memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, Dinas Sosial selaku penanggung jawab operasi, Satpol PP selaku pelaksanan operasi dan kepolisian sebagai mitra Satpol PP dalam melakukan razia sedangkan Dinas Kesehatan sendiri bertugas untuk mencari dan mendata Pekerja Seks Komersial yang terjangkit penyakit menular seksual (PMS).
Wilayah-wilayah yang sering dijadikan target razia antara lain: kawasan RRI, Monumen Perjuangan 45 Banjarsari, Terminal Tirtonadi, Gilingan dan alun-alun kidul. Dalam operasi sering sekali terjadi kebocoran-kebocoran informasi sehingga ketika diadakan razia ke tempat-tempat tersebut sering sekali sepi aktifitas. Dalam pelaksanaan razia pekerja seks komersial dilakukan sebanyak 10 kali dalam satu tahun atau lebih tergantung dari anggaran yang diberikan oleh Pemkot Surakarta, serta bila mungkin ada bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maka frekuensi untuk melakukan Razia tersebut dapat ditambah.
Tingginya intesitas razia bertujuan untuk menciptakan suasana yang tertib dan aman di wilayah Surakarta. Dalam penanganan hasil razia ini sendiri juga memerlukan mekanisme tersendiri yang dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana PSK yang terjaring dalam razia dikumpulkan di Poltabes Surakarta setelah itu dilakukan identifikasi dan diadministrasi dengan tertib, pengidentifikasian dilakukan oleh tim pelaksana yang kemudian dilakukan pengambilan keputusan dari hasil pemeriksaan terebut dengan cara sebagai berikut:
1. Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang baru pertama kali terkena razia dapat diambil 2 tindakan dengan:
a. Membuat Surat Pernyataan yang isinya tidak akan mengulangi kembali kegiatan tersebut.
b. Dipulangkan ke daerah asal atau dikembalikan kepada keluarga untuk mendapatkan pembinaan dari keluarga.
2. Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang lebih dari satu kali terjaring razia dapat diambil tindakan diantaranya:
a. Diserahkan ke Panti Karya Wanita “Wanita Utama” untuk mendapatkan pendidikan ketrampilan selama 6 bulan.
b. Diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses melalui Pengadilan Negeri.
3. Bilamana ada kekeliruan dalam penjaringan / permohonan pelepasan dari keluarga yang terkena razia lebih dari 1 kali, harus melalui proses:
a. Dari pihak keluarga mengajukan permohonan secara tertulis kepada tim dengan disertai bukti-bukti pendukung antara lain Kartu Keluarga (KK), Fotocopy Surat Nikah dan mengisi surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Tim Pelaksana yang selanjutnya dilegalisir oleh kepala desa setempat.
b. Pelepasan bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan oleh Ketua Tim Pelaksana.

Hasil razia terhadap pelaku kegiatan komersialisasi seksual di kota Surakarta dalam tahun 2006 yang dilakukan oleh Satpol PP bersama instansi terkait adalah sebagai berikut:



Tabel 9
Hasil Razia PSK di Kota Surakarta Tahun 2006

No.
Bulan
Banyaknya Razia
Jumlah PSK
Yang Terjaring
1 Maret 2006 1 kali kegiatan razia 25 orang
2 Mei 2006 2 kali kegiatan razia 49 orang
3 Agustus 2006 4 kali kegiatan razia 101 orang
4 Oktober 2006 2 kali kegiatan razia 64 orang
5 Desember 2006 6 kali kegiatan razia 136 orang
Sumber: Satpol PP Kota Surakarta 2006
Dari data di atas dapat diketahui, bahwa tingginya intensitas razia yang dilakukan di kota Surakarta tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kegiatan pelacuran. Hal ini terbukti dari hasil yang terjaring dalam setiap kali melakukan razia dapat menjaring 20-30 pelacur serta masih saja kegiatan pelacuran di Kota Surakarta marak terjadi walaupun kegiatan razia sering kali dilakukan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial. Yang berbunyi, barang siapa karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan 5, dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Adapun unsur-unsur yang ada dalam Pasal 31 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 adalah sebagai berikut :
1) Barang siapa
2) Karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan perbuatan yang dimaksud ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5
3) Sanksi pidana kurungan 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan tindakan pidana prostitusi baik dengan pasangan sejenis dan atau lawan jenis.
(2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan prostitusi anak, baik dengan pasangan sejenis dan atau lawan jenis.
(3) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara dan atau pembeli jasa dalam kegiatan dimaksud ayat 1 dan 2.
(4) Setiap orang dilarang menyediakan tempat-tempat untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dimasud dalam ayat 1 dan 2.
Sedangkan Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan perdagangan orang untuk tujuan seksual
(2) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara dan atau pembeli jasa dalam kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1.
(3) Setiap orang dilarang menyediakan temapa-tempat untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1.


Di dalam penjelasannya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelacuran dalam pasal ini adalah termasuk ajakan membujuk, memiat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda-tanda atau perbuatan lainnya yang maksudnya mengajak untuk melakukan kegiatan seksual anak dan atau orang dewasa, baik dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, dengan pembayaran atau imbalan dala bentuk lain. Adapun yang dimaksud dengan tempat-tempat untuk melakuan pelacuran adalah hotel, losmen, salaon, tempat-tempat hiburan, rumah kost, tempat penginapan yang lain dan rumah penduduk termasuk tempat-tempat penampungan pekerja yang ditujukan untuk kegiatan eksploitasi seksual.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan publik yang bersifat Crucial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijaksanaan, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan bisa diwujudkan, demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun sebaiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa diwujudkan, sehingga kalau menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan juga telah diantisipasi untuk dapat diimplementasikan.
Sayangnya, dalam menerjemahkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam bentuk-bentuk program dan proyek pada saat implementasinya terdapat sandungan yang sangat berat : banyak diantara kebijakan-kebijakan itu tetap saja berupa pernyataan-pernyataan simbolis dari pemimpin politik atau berupa undang-undang ataupun peraturan, sementara kebijakan lainnya yang telah dilaksanakan ternyata hasilnya tidaklah seperti yang diharapkan.
Hal ini dapat dilihat, dimana sanksi yang tegas seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 ternyata tidak membuat jera pekerja seks komersial karena pada pelaksanaannya sangat jauh dari apa yang tertulis dalam Perda, dari beberapa kasus yang ada, dimana pelaku yang melakukan kegiatan prostitusi masuk dalam pelanggaran tindak pidana ringan (Tipiring) setelah melalui proses peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta hanya dijatuhi hukuman kurungan selama 10 hari dengan masa percobaan selama satu bulan serta terdakwa diharuskan mengganti biaya perkara seribu rupiah. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan hukum mengambil jalan yang lebih mudah yang penting sudah melaksanakan tugas dan kewenangannya masing-masing sedangkan hasil yang dicapai bukan mewujudkan tujuan Perda itu sendiri.
Efektifitas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 juga masih patut untuk dipertanyakkan, karena pelaksanaan Perda kurang mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota masyarakat, indikasinya pelacuran tetap saja marak dimana lokasi-lokasi yang menjadi tempat pelacuran tetap saja ramai, ketenangan masyarakat masih terganggu dengan adanya penularan penyakit mematikan, rumah tangga yang tidak harmonis.

Permasalahan Tentang Pelacuran

Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi soasial yang ditimbulkannya. Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Karena disamping disebut sebagai profesi yang tertua, jasa pelacuran pada hakekatnya tetap dicari oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Karena itu pelacuran memerlukan penanganan komprehensif dari berbagai pihak.
Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut) dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia. Walaupun prostitusi sudah ada sejak dulu, namun masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa. Namun masa jaman sekarang prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang biasa. Norma-norma sosial jelas mengharamkan prostitusi, bahkan sudah ada UU mengenai praktek prostitusi yang ditinjau dari segi Yuridis dalam KUHP yaitu mereka menyediakan sarana tempat persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggaran bagi pelacur (pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-klaki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP). Dunia kesehatan juga menunjukkan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan seperti HIV / AIDS akibat adanya pelacuran di tengah masyarakat.
Sekalipun disadari bahwa pelacuran itu tidak mungkin diberantas namun usaha-usaha penanggulangan dalam arti sekurang-kurangnya menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah pelacur dan pelacuran, pemerintah atau pemerintah daerah telah menyusun program-program kegiatan dan kebijakan-kebijaan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk penanganan dan penanggulangan terhadap permasalahan pelacuran tersebut.
Sejarah penanganan masalah pelacuran di kota Surakarta telah dilakukan sejak tahun 1953 dengan dikeluarkannya Peratuan Daerah Kota Besar Surakarta Nomor 10 tahun 1953, dikarenakan tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat itu, maka kemudian Peraturan Daerah ini diganti dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila, walaupun secara politis dan regulatif telah dilarang dengan Peraturan Daerah, namun pada kenyataannya di lapangan PSK masih melakukan prakteknya dan kegiatan eksploitasi seksual komersial di Surakarta sudah sangat memprihatinkan.
Hal ini pulalah yang melatar belakangi sebagian ormas-ormas Islam mengadakan suatu tindakan perlawanan terhadap kegiatan pelacuran komersial yang ada di kota Surakarta karena dalam ajaran agama Islam prostitusi merupakan salah satu perbuatan zina dan zina hukumnya haram dan termasuk kategori dosa besar. Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang berzina yaitu para pezina yang masih bujang di hukum cambuk delapan puluh kali (An-Nur : 4) dan “yang sudah menikah dilempari batu 100 kali, alias mati. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal darah bagi seorang muslim yang bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulnya, kecuali disebabkan oleh salah satu dari tiga hal : orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya serta memisahkan dari jamaah”.
Islam secara terang-terangan mengharamkan segala perbuatan zina seperti yang terdapat dalam surat AL Israa ayat 32 : dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sejahat-jahatnya perjalanan. Surat ini menjelaskan tentang larangan untuk melakukan perbuatan zina bahkan untuk mendekatinya pun tidak diperbolehkan. Dari latar belakang itulah organisasi-organisasi massa Islam di Surakarta yang berasaskan Al Quran dan Hadist menentang segala tindakan perbuatan yang berkaitan dengan dunia pelacuran selalu mereka tindak tegas. Karena perbuatan itu tidak sesuai dengan kaidah yang mereka anut dan bertentangan dengan Islam.
Perlawanan ormas-ormas Islam dapat dilihat dalam beberapa peristiwa seperti yang terjadi pada Pada tanggal 13 Oktober 2000, sekitar 100 anggota Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo mendatangi sejumlah tempat yang dijadikan tempat penampungan pekerja seks komersial. Kedatangan mereka selain memberi peringatan keras agar tidak melakukan aktifitas lagi juga memberikan penyuluhan keagamaan dan sebagai bukti atas kedatangan Hizbullah, setiap masuk ke rumah penampungan dibuat berita acara aksi kemudian pihak pengelola penampungan diminta membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kedatangan mereka. Pembuatan berita acara ini sendiri bertujuan untuk dikirimkan ke Kapolresta, Walikota, DPRD Solo serta pihak-pihak yang berkompeten agar mengambil tindakan lebih lanjut lagi. Dalam aksinya tersebut tempat yang mereka datangi antara lain rumah di Jl. Adisucipto No 99 dan 149 serta rumah di Jl. Hasanuddin No. 62. Selain mendatangi tempat-tempat penampungan pekerja seks komersial, Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo juga mendatangi salon-salon yang diindikasikan juga melakukan kegiatan pelacuran.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Laskar Islam, kalau Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo lebih pada tempat-tempat penampungan pekerja seks komersial dan salon, sedang Laskar Islam lebih kepada tempat-tempat yang sering dijadikan pelacur untuk beroperasi serta tempat-temapt hiburan malam yang ada di kota Solo. Sekitar 200 orang yang sebagian besar berseragam putih-putih bergerak dari lapangan Kartopuran dengan mengendarai sepeda motor dan satu unit mobil bak terbuka. Mereka menyusuri tempat-tempat hiburan malam serta warung remang-remang. Kawasan Gilingan, kawasan Monumen 45 dan Alun-Alun Kidul yang selama ini dikenal tempat mangkal pelacur juga menjadi sasaran aksi mereka. Para pelacur berlarian begitu datang kelompok ini. Begitu pula lokalisasi Silir juga didatangi massa.
Selain itu, Hampir semua diskotik dan kafe disambangi kelompok massa ini. Di antaranya kafe Fortuna di Jalan Bhayangkara, Diskotek Freedom di Balekambang, Diskotek Legend di Pasar Gedhe, dan lainnya. Namun kebanyakan tempat-tempat itu sudah tutup sebelum mereka tiba di lokasi untuk menghindari benturan dengan mereka. Para pengelola tempat hiburan tersebut memilih menutup tempat usahanya lebih awal sebelum kelompok ini datang. Karena beberapa hari sebelumnya, massa yang mengatasnamakan Koalisi Ummat Islam Surakarta (KUIS) pernah melakukan aktivitas yang sama. Kericuhan hampir saja terjadi antara kelompok KUIS dan masyarakat. Saat melintas di kawasan Silir, mereka melewati sekelompok warga yang sedang nongkrong di warung. Tanpa sebab yang jelas, terjadi adu mulut. Hampir saja terjadi baku hantam namun bisa dicegah setelah pemimpin KUIS meredakan emosi anggotanya. Di dalam razia ini KUIS menyita secara paksa ratusan botol minuman keras yang tersimpan dalam puluhan kardus.
Peristiwa lainnya yang kerap menimbulkan aksi ormas-ormas Islam yang ada di kota Surakarta adalah setiap menjelang bulan suci Ramadhan banyak sekali ormas-ormas Islam yang menuntut agar tempat-temapt hiburan yang ada di kota Solo ini ditutup, tercatat kurang lebih 48 ormas Islam melakukan aksi konvoi tersebut. Aksi ini diprakarsai Forum Komunikasi Antar Masjid Indonesia (Forkami) ini diikuti ribuan massa dari FPIS, Mujahidin Surakarta, Forkuis, FKAM, perguruan Silat tenaga ghaib Honggo Dremo, Brigade Hisbullah, Lasykar Jundullah serta lasykar Islam lainnya. Ikut pula beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa seperti KAMMI, HMI, PII, HAMMAS, GP Ansor serta Banser.
Perlawanan dari ormas Islam terhadap aktifitas pelacuran memang tidak ada hentinya, mereka masih dianggap pembawa kemaksiatan oleh orang-orang yang keras terhadap kegitan mereka. Kegiatan-kegiatan mereka selalu dipantau oleh ormas-ormas Islam yang suatu saat siap mencekal atau bahkan membubarkan mereka. Inilah bentuk-bentuk perlawanan ormas Islam terhadap aktifitas pelacuran di Surakarta. Mereka tidak bisa menerima keberadaan aktifitas tersebut. Rata-rata bentuk dari perlawanan mereka dengan penyerangan dan kekerasan. Memang tidak ada perlawanan, karena bagi mereka melawan berarti hancur sehingga setiap terjadi penggerebekan atau perlawanan mereka selalu lari dan menghindarinya.
Aksi anarkis yang dilakukan ormas-ormas islam yang ada di Surakarta didasarkan atas fundamentalisme Islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, fundamentalisme ini diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap krisis bangsa. Mereka hendak melaksanakan syariat Islam secara kafah dengan pendekatan tafsir literal atas Al Quran. Pelaksanaan syariat Islam ini termasuk hukum rajam bagi segala bentuk perzinahan. Mereka juga mengusung pandangan teosentris Islam yang tanpa batas dengan menolak ide tentang manusia sebagai jiwa yang bebas untuk menentukan diri sendiri. Sebab itu, mereka membutuhkan wilayah kekuasaan yang dibayangkan sebagai tempat implementasi hukum syariat. Akan tetapi, mereka menolak Daulah Qaumiyah (sistem negara-bangsa), serta menginginkan Daulah Islamiyah (negara Islam) sesuai dengan interpretasi mereka. Karena itu, mereka terpincu untuk melakukan purifikasi secara radikal dalam segala hal, termasuk terhadap apa yang disebut penyakit sosial. Dengan semangat jihad fi sabilillah, mereka mengibarkan bendera perang terhadap segala bentuk maksiat dengan tindakan radikal seperti mengobrak-abrik tempat-tempat hiburan atau malah membunuh pelacur, seperti kasus di Irak. Suatu tindakan yang dituding oleh sebagian Muslim lain sebagai anti demokrasi serta kepicikan (jumud) terhadap konsep rahmatan lil `alamin dalam Islam.
Kegiatan ormas-ormas Islam yang dilakukan ini merupakan salah satu akibat dari tidak berfungsinya kebijakan-kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah kota Surakata, dalam hal ini adalah fungsi dan efektifitas Peratuan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan seperti apa yang menjadi tujuan Perda itu sendiri yaitu pemberantasan dan pencegahan penyebarluasan pelacuran di wilayah kota Surakarta. Hal ini pulalah yang mendorong pemerintah kota Surakarta untuk melakukan sebuah evaluasi terhadap kebijakan tentang penanganan permasalahan pelacuran di Surakarta seperti apa yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila.
Gerakan massa yang dilakukan oleh sebagian ormas-ormas Islam yang ada di Surakarta merupakan faktor pendorong eksternal bagi pemerintah kota Surakarta untuk melakukan sebuah evaluasi kebijakan terhadap peraturan yang sudah ada. Adapun yang menjadi faktor internalnya adalah efektifitas perda itu sendiri yang dalam pelaksanaannya kurang mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota masyarakat, indikasinya pelacuran tetap saja marak dimana lokasi-lokasi yang menjadi tempat pelacuran tetap saja ramai. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini bisa dilihat dari sanksi yang diberikan dalam peraturan tersebut, dimana pelanggaran-pelanggaran dari apa yang dimaksud dalam tujuan Perda Nomor 1 Tahun 1975 untuk mengurangi dan memberantas aktifitas pelacuran yang ada di kota Surakarta akan dijatuhi sanksi kurungan selama enam bulan atau denda sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
Perubahan kebijakan boleh dikatakan merupakan konsep terbaru yang dikembangkan dan kemudian dimasukkan dalam siklus kebijakan. Konsep ini mencakup berbagai tahapan dari siklus kebijakan seperti perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan terminasi atau pengakhiran kebijakan.
Sebagai suatu proses analitik, konsep perubahan kebijakan itu harus mengacu pada titik tertentu dimana kebijakan itu seharusnya dievaluasi dan dirancang bangun atau dideasin kembali. Walhasil, dengan perubahan kebijakan itu keseluruhan proses kebijakan lantas menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Terminasi kebijakan (Policy Termination) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan cara mengakhiri kebijakan-kebijakan yang telah kadaluarsa atau kinerjanya dianggap tidak lagi memadai. Beberapa program tertentu mungkin diketahui memang tidak jalan dan karena itu perlu segera dihapus, sementara beberapa program lainnya terlantar atau jalannya tersendat-sendat dan kinerjanya merosot lantaran kekurangan sumberdaya (biaya) atau ternyata dianggap tidak rasional dan hanya memenuhi ambisi politik tertentu.
Istilah terminasi kebijakan itu pada dasarnya mengacu pada titik akhir dari siklus sebuah kebijakan publik. Sama halnya dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 harus selalu dievaluasi kinerjanya dan apabila dirasa sudah tidak sesuai karena kinerjanya dianggap tidak lagi memadai maka perlu dibuat Peraturan Daerah yang baru. Langkah yang diambil oleh pemerintah kota Surakarta untuk memperbaharui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 dan Memperbaharuinya dengan Peraturan Daeran Nomor 3 Tahun 2006 merupakan langkah yang tepat. Pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial hendaknya dilakukan penyebarluasan kebijakan publik baru tersebut kepada warga masyarakat agar dalam pelaksanaannya lebih efektif dan tidak mengalami kegagalan-kegagalan yang sama dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, tingkat sebuah keberhasilan dan efektifnya kebijakan mengenai permasalahan pelacuran yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak hanya harus didukung sepenuhnya pihak-pihak yang terkait melainkan juga peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam menanggulangi permasalahan pelacuran itu sendiri.

Perkembangan HIV/AIDS

Kesehatan berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, permasalahan kesehatan terkait erat dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Ketidaktahuan tentang penyakit yang dipengaruhi oleh kurangnya KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibidang kesehatan dan kurangnya akses terhadap kesehatan dapat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan seseorang.
Perilaku seksual yang berlebihan (baik dalam frekuensi, ragam maupun jumlah pasangan) membawa dampak buruk bagi kehidupan. Munculnya beberapa penyakit kelamin atau penyakit menular seksual sering kali dikaitkan dengan perilaku seksual manusia yang dalam batas-batas tertentu telah melanggar norma. Dalam batas kehidupan seksual tidak lagi sebagai anugerah tetapi berubah menjadi suatu musibah. Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya terutama terjadi melalui hubungan kelamin. Seperti jenisnya yang bermacam-macam, penyebab PMS disebabkan oleh bakteri, jamur, protozoa atau virus. Jenis PMS yang diketahui adalah Gonorrhoea dan Syphilis. Disamping kedua jenis penyakit tersebut, ada banyak lagi yang dikategorikan PMS seperti trikomoniasis, kandidiasis, herpes genital, genital warts dan sebagainya. Belakangan ini ditemukan HIV (Human Immunodeficiency Viru) yang mempunyai kemampuan mutasi sangat hebat dibandingkan dengan virus lain yang pernah dipelajari dalam ilmu kedokteraan.
Dari faktor yang ada, keadaan PMS lain yang diderita salah seorang dari mitra seksual dapat meningkatkan resiko penularan HIV/AIDS. PMS merupakan masalah utama yang dialami banyak negara, terutama negara berkembang tempat fasilitas untuk mendiagnosa dan memberikan tindakan masih terbatas. 15% dari beban penyakit yang dialami penduduk perkotaan di negara berkembang disebabkan oleh PMS. Di daerah tropis PMS merupakan peringkat kedua setelah malaria dalam hal dampak sosial ekonomi.

1. Penyebaran Virus HIV/AIDS di Surakarta
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrom) adalah suatu penyakit yang sampai saat ini belum ada obat yang menghilangkan virus yang mematikan ini. Virus ini bekerja dengan jalan menyerap kekebalan tubuh manusia, yang ditimbulkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Dalam hal ini cara penularan. Sebagian besar penularan HIV/AIDS sebanyak 90% disebabkan hubnungan seksual, baik berlainan jenis (heterosexual) maupun sesama jenis (homosexual). Selebihnya, penularan terjadi melalui jarum suntik bekas penderita HIV/AIDS, transfusi darah dan hubungan plasenta janin dan ibu terinfeksi.
Sejak ditemukan pertama kali tahun 1981, AIDS dewasa ini sudah merupakan penyakit pandemi yang melanda hampir seluruh dunia. Di indonesia AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1987 pada seorang warga asal Bali yang mempunyai pasangan warga negara asing yang tinggal bersama selama hampir 10 tahun. Setelah kasus tersebut terungkap kemudian tahun 1988 pemerintah membentuk Litbangkes Departemen Kesehatan yang bertugas untuk menyusun kebijakan dan rencana startegi penanggulangan HIV/AIDS nasional. Setelah semakin meluasnya pandemi HIV/ AIDS di Indonesia yang mana pada tahun 2003 mencapai 90.000-120.000 orang dan setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.
Penularan melalui hubungan seksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Hubungan seksual, baik secara heteroseksual maupun homoseksual merupaan cara penularan yang paling utama di seluruh dunia. Virus ini dapat menular melalui segala macam bentuk kegiatan seksual secara penentrasi, dimana semen cairan vagina atau cairan mulut rahim (cervix) terinfeksi dengan HIV atau melalui perpindahan darah. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap HIV kepada pasangan seksualnya.
HIV sebenarnya tidak mudah menular dibandingkan dengan, misalnya virus influensa. Virus ini terdapat di dalam darah, air mani, air liur, air kemih, ciran vagina dan air susu ibu yang terinfeksi HIV. Tidak ada bukti penularan HIV melalui cara lain, misalnya melalui saluran pernafasan atau pencernaan. Juga tidak melalui hubungan sosial biasa dalam ruang lingup apapun, apakah di rumah, di sekolah, tempat kerja ataupun penjara. HIV juga tidak ditularkan melalui gigitan nyamuk, makanan, air, kakus, kolam renang, menggunakan secara bersama-sama alat-alat makan dan minum atau objek lain seperti pakaian bekas dan telpon, bahkan berciuman belum menunjukan resiko penularan.
Pelacuran berhubungan erat dengan penularan berbagai penyakit seksual berbahaya dan bila aspek kesehatan pelacur tidak ditangani secara serius, penularan HIV/AIDS yang cepat dari pelacur, pelanggan sulit dicegah. Di mata masyarakat profesi wanita pekerja seks dianggap sebagai pekerjaan hina. Menghapuskan sama sekali kegiatan prostitusi memang tidak mungkin dan cara yang paling efektif adalah menanggulangi agar dampak negatif yang ditimbulkan tidak meluas ke masyarakat.
Awal munculnya HIV/AIDS di Surakarta belum ada bukti yang jelas namun pada tahun 1990 ditemukan sebuah kasus positif HIV pada seorang wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) di Alun-Alun Kidul Kraton Surakarta. Kemudian kasus tersebut dicurigai berkembang ke komunitas yang paling beresiko tinggi masalah HIV/AIDS yaitu para PSK. Semakin rawannya insiden HIV/AIDS, antara lain disebabkan umumnya kaum pelacur kurang bersikap terbuka, banyak yang melakukan seks bebas tanpa merasa ada keluhan sehingga melanjutkan perbuatan itu tanpa memperdulikan resikonya. Sikap menutup diri, hanya ingin bergaul di kalangan sendiri menimbulkan keengganan untuk berobat manakala ada gejala-gejala penyakit yang timbul. Seorang yang terkena virus tersebut biasanya tidak suka berterus terang kepada orang-orang sekitarnya sehingga penyebaran virus tersebut semakin meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Family Health International (FHI) pada tahun 2005, Solo menjadi salah satu diantara tiga kota di Jawa Tengah selain Semarang dan Banyumas yang setiap tahun penambahan jumlah penderita HIV/AIDSnya cukkup tinggi. jumlah penderita HIV/AIDS sendiri pada tahun 2005 mencapai 7 orang penderita virus HIV dan 2 orang positif mengidap Aids. Secara komulatif dari tahun ke tahun penderita virus HIV/AIDS mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 8
Jumlah Penderita HIV dan AIDS Di Solo
Tahun HIV AIDS
1999 1 0
2000 0 0
2001 0 0
2002 1 0
2003 1 1
2004 4 1
2005 7 2
jumlah 14 4
Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS tidak lepas dari posisi kota Solo sendiri yang merupakan daerah tujuan wisata dan letaknya yang strategis sehingga mobilitas penduduknya tingggi serta membawa konsekwensi kebutuhan jasa hiburan termasuk layanan seksual dan keberadaan kelomopok resiko tinggi. PSK merupakan kelompok yang paling tinggi terjangkit virus HIV/AIDS. Secara tidak langsung Pemerintah Kota juga ikut berperan dalam peningkatan jumlah penderita virus ini. Penutupan resosialisasi Silir berakibat tidak adanya lagi kontrol kesehatan terhadap pelacur dikarenakan sebelum resosialisasi ditutup. Pemkot bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pelacur tapi setelah penutupan pemeriksaan tidak ada lagi dan pemeriksaan kesehatan PSK dilakukan atas inisiatif sendiri-sendiri. Ironisnya dari sekitar 300an PSK baru sekitar 89 orang yang sadar dan rutin mengunjungi (Voluntary Counselling and Testing) VCT.


2. Upaya Meminimalisir dan Pencegahan Virus HIV/AIDS
HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan pembangunan, karena virus ini dapat menyebar dengan cepat, menyerang kelompok usia produktif dan mengakibatkan kematian 100% pada penderitanya. Virus ini akan mempunyai dampak yang nyata bagi pembangunan di masa yang akan datang. Epidemi virus HIV/AIDS akan menambah penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan menghambat usaha untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi tertentu seperti kesehatan, perhubungan, pariwisata, pertambangan dan pertanian.
Penyebaran Virus HIV/AIDS yang demikian cepat meluas menjadi beban baru bagi berbagai negara. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, beban tersebut menjadi semakin berat karena ada beban penyakit lain yang juga harus diselesaikan. Negara-negara berembang pada umumnya belum berhasilsepenuhnya mengatasi beban penyakit-penyakit tradisional akkibat infeksi. Namun, pada saat yang sama beban baru sudah muncul yaitu meningkatnya jumlah penyakit degeneratif. Akibatnya, banyak negara berkembang termasuk Indonesia memegang beban ganda yang hasur diselesaikan. Diperkirakan bahwa rata-rata untuk satu kasus AIDS di Indonesia sebesar 33 juta rupiah, yang terdiri dari 3 juta rupiah biaya langsung dan sekitar 30 juta rupiah biaya tidak langsung. Biaya rata-rata per kasus ini kira-kira 28 kali pendapatan per kapita Indonesia.
Perhatian masyarakat terhadap penyebaran virus HIV/AIDS masih sangat kecil dan yang menjadi kendala dalam memutuskan mata rantai penyebaran virus HIV/AIDS di kalangan PSK di Surakarta adalah tidak semua PSK yang merupakan kelompok resiko tinggi ingin memeriksakan dirinya ke petugas kesehatan. Pada saat ini salah satu upaya yang digunakan adalah dengan mendirikan klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau klinik konseling dan testing HIV secara sukarela yang terdapat di RS Dr Moewardi dan RS Oen. Klinik ini bertujuan untuk menyediakan informasi tentang HIV/AIDS, pencegahan, pengobatan, cara penularan, tes laboraturium HIV serta memberikan dukungan moral untuk perubahan perilaku yang lebih sehat dan aman.
Prinsip yang dipegang pada klinik VCT adalah persetujuan kerahasiaan tentang status penyakitnya, tidak diskriminasi dan menjamin mutu baik diagnositik maupun konsultatif. Apabila seseorang sudah dinyatakan positif HIV-AIDS maka klinik VCT akan merekomendasikan kliennya untuk penanganan ODHA (orang dengan virus HIV-AIDS) lebih lanjut melalui manajemen kasus.
Manajemen kasus merupakan mekanisme pengkoordinasian berbagai jenis layanan untuk ODHA yang mempunyai kebutuhan kompleks untuk memperoleh semua akses pelayanan secara cepat dan tepat. Dalam manajemen kasus ini terdapat seorang yang mempunyai fungsi koordinatif yaitu manajer kasus. ODHA akan mempunyai permasalahan yang sangat kompleks baik psikis, sosial maupun ekonomi. Pengetahuan masyarakat yang masih minim tentang AIDS membuat sebagian besar masyarakat beranggapaan bahwa ODHA itu harus dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan. Disinilah peran manajer kasus dalam memberikan dukungan terhadap ODHA baik dalam pengobatan maupun dukungan secara mental akibat dari pandangan negatif masyarakat, dengan adanya manajemen kasus maka jumlah dan perilaku ODHA akan terkontrol sehingga aktivitas ODHA yang mungkin akan mengakibatkan penularan ke orang lain akan terhenti.
Upaya pencegahan yang telah dilakukan selama ini adalah melakukan penyuluhan untuk menambah pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran tentang bahaya penyakit AIDS. Namun demikian, penelitian program pencegahan HIV/AIDS yang sudah ada dan yang akan dikembangkan tetap diperlukan. Hal ini dikarenakan masih adanya usaha pencegahan yang menyampaikan informasi dengan isi dan cara penyampaian yang kurang efektif, mempercayai mitos dan gagal menyampaikan pesan yang sesuai dengan kelompok sasaran. Hingga saat ini masih banyak program pencegahan yang sifatnya coba-coba tanpa melalui proses evaluasi dan penelitian. Kondisi ini terjadi terutama pada saat usaha pencegahan dibutuhkan respon cepat dalam menghadapi penyebaran HIV/AIDS.
Fokus usaha pencegahan HIV/AIDS umumnya diarahkan pada perilaku yang beresiko terhadap terjadinya infeksi atau penularan, karena infeksi ini dapat terjadi selama berlangsungnya proses pertukaran atau perpindahan cairan tubuh terutama darah dan cairan seksual, maka usaha pencegahan HIV/AIDS berusaha untuk mengubah atau memodifikasi cara berhubungan seks yang beresiko (unsafe sex) ke arah cara yang lebih aman (safer sex). Hal ini dapat dipahami mengingat pada beberapa variasi cara berhubungan seks, terdapat beberapa kemungkinan terjadinya pertukaran cairan tubuh seperti darah atau cairan seksual. Beberapa cara yang umum dan dianggap sebagai cara yang perlu dilakukan dalam sautu hubungan seks, dengan demikian maka usaha pencegah menjadi tidak sesederhana yang dipikirkan karena hubungan seks merupakan sifat yang sangat pribadi dan mendasar. Di samping itu, usaha perubahan cara-cara berhubungan seks dari yang beresiko ke arah yang lebih aman dari resiko penularan HIV/AIDS, perlu didahului oleh adanya suatu usaha peningkatan pengetahuan dan pembentukan sikap yang mendukung bagi perubahan perilaku seks yangaman dari resiko terjangkit HIV/AIDS.
Upaya lain pencegahan penyebaran pandemi virus HIV/AIDS dengan mengkampanye program ABC. A berarti Abstentia Sexual, dimana seseorang itu tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. B adalah be faitful atau setia kepada pasangannya masing-masing serta tidak bergonta-ganti pasangan yang bisa mengakibatkan terjangkitnya virus ini. Sedangkan C adalah condom dimana cara ini lebih ditekankan pada penggunaan alat kontrasepsi berupa kondom dalam melakukan hubungan seksual.
Pengetahuan merupakan dasar dan fungsi sikap, intensi dan tidakan. Sehubung dengan masalah HIV/AIDS, evaluasi terhadap berbagai atribut objek pengetahuan HIV/AIDS, dapat menentukan arah sikap dan mendorong motivasi dan intensi seseorang untuk menghindari diri dari resiko penularan HIV/AIDS. Pendekatan

Perkembangan HIV/AIDS

Kesehatan berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, permasalahan kesehatan terkait erat dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Ketidaktahuan tentang penyakit yang dipengaruhi oleh kurangnya KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibidang kesehatan dan kurangnya akses terhadap kesehatan dapat berpengaruh terhadap tingkat kesehatan seseorang.
Perilaku seksual yang berlebihan (baik dalam frekuensi, ragam maupun jumlah pasangan) membawa dampak buruk bagi kehidupan. Munculnya beberapa penyakit kelamin atau penyakit menular seksual sering kali dikaitkan dengan perilaku seksual manusia yang dalam batas-batas tertentu telah melanggar norma. Dalam batas kehidupan seksual tidak lagi sebagai anugerah tetapi berubah menjadi suatu musibah. Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya terutama terjadi melalui hubungan kelamin. Seperti jenisnya yang bermacam-macam, penyebab PMS disebabkan oleh bakteri, jamur, protozoa atau virus. Jenis PMS yang diketahui adalah Gonorrhoea dan Syphilis. Disamping kedua jenis penyakit tersebut, ada banyak lagi yang dikategorikan PMS seperti trikomoniasis, kandidiasis, herpes genital, genital warts dan sebagainya. Belakangan ini ditemukan HIV (Human Immunodeficiency Viru) yang mempunyai kemampuan mutasi sangat hebat dibandingkan dengan virus lain yang pernah dipelajari dalam ilmu kedokteraan.
Dari faktor yang ada, keadaan PMS lain yang diderita salah seorang dari mitra seksual dapat meningkatkan resiko penularan HIV/AIDS. PMS merupakan masalah utama yang dialami banyak negara, terutama negara berkembang tempat fasilitas untuk mendiagnosa dan memberikan tindakan masih terbatas. 15% dari beban penyakit yang dialami penduduk perkotaan di negara berkembang disebabkan oleh PMS. Di daerah tropis PMS merupakan peringkat kedua setelah malaria dalam hal dampak sosial ekonomi.

1. Penyebaran Virus HIV/AIDS di Surakarta
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrom) adalah suatu penyakit yang sampai saat ini belum ada obat yang menghilangkan virus yang mematikan ini. Virus ini bekerja dengan jalan menyerap kekebalan tubuh manusia, yang ditimbulkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal. Dalam hal ini cara penularan. Sebagian besar penularan HIV/AIDS sebanyak 90% disebabkan hubnungan seksual, baik berlainan jenis (heterosexual) maupun sesama jenis (homosexual). Selebihnya, penularan terjadi melalui jarum suntik bekas penderita HIV/AIDS, transfusi darah dan hubungan plasenta janin dan ibu terinfeksi.
Sejak ditemukan pertama kali tahun 1981, AIDS dewasa ini sudah merupakan penyakit pandemi yang melanda hampir seluruh dunia. Di indonesia AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1987 pada seorang warga asal Bali yang mempunyai pasangan warga negara asing yang tinggal bersama selama hampir 10 tahun. Setelah kasus tersebut terungkap kemudian tahun 1988 pemerintah membentuk Litbangkes Departemen Kesehatan yang bertugas untuk menyusun kebijakan dan rencana startegi penanggulangan HIV/AIDS nasional. Setelah semakin meluasnya pandemi HIV/ AIDS di Indonesia yang mana pada tahun 2003 mencapai 90.000-120.000 orang dan setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.
Penularan melalui hubungan seksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Hubungan seksual, baik secara heteroseksual maupun homoseksual merupaan cara penularan yang paling utama di seluruh dunia. Virus ini dapat menular melalui segala macam bentuk kegiatan seksual secara penentrasi, dimana semen cairan vagina atau cairan mulut rahim (cervix) terinfeksi dengan HIV atau melalui perpindahan darah. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap HIV kepada pasangan seksualnya.
HIV sebenarnya tidak mudah menular dibandingkan dengan, misalnya virus influensa. Virus ini terdapat di dalam darah, air mani, air liur, air kemih, ciran vagina dan air susu ibu yang terinfeksi HIV. Tidak ada bukti penularan HIV melalui cara lain, misalnya melalui saluran pernafasan atau pencernaan. Juga tidak melalui hubungan sosial biasa dalam ruang lingup apapun, apakah di rumah, di sekolah, tempat kerja ataupun penjara. HIV juga tidak ditularkan melalui gigitan nyamuk, makanan, air, kakus, kolam renang, menggunakan secara bersama-sama alat-alat makan dan minum atau objek lain seperti pakaian bekas dan telpon, bahkan berciuman belum menunjukan resiko penularan.
Pelacuran berhubungan erat dengan penularan berbagai penyakit seksual berbahaya dan bila aspek kesehatan pelacur tidak ditangani secara serius, penularan HIV/AIDS yang cepat dari pelacur, pelanggan sulit dicegah. Di mata masyarakat profesi wanita pekerja seks dianggap sebagai pekerjaan hina. Menghapuskan sama sekali kegiatan prostitusi memang tidak mungkin dan cara yang paling efektif adalah menanggulangi agar dampak negatif yang ditimbulkan tidak meluas ke masyarakat.
Awal munculnya HIV/AIDS di Surakarta belum ada bukti yang jelas namun pada tahun 1990 ditemukan sebuah kasus positif HIV pada seorang wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) di Alun-Alun Kidul Kraton Surakarta. Kemudian kasus tersebut dicurigai berkembang ke komunitas yang paling beresiko tinggi masalah HIV/AIDS yaitu para PSK. Semakin rawannya insiden HIV/AIDS, antara lain disebabkan umumnya kaum pelacur kurang bersikap terbuka, banyak yang melakukan seks bebas tanpa merasa ada keluhan sehingga melanjutkan perbuatan itu tanpa memperdulikan resikonya. Sikap menutup diri, hanya ingin bergaul di kalangan sendiri menimbulkan keengganan untuk berobat manakala ada gejala-gejala penyakit yang timbul. Seorang yang terkena virus tersebut biasanya tidak suka berterus terang kepada orang-orang sekitarnya sehingga penyebaran virus tersebut semakin meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Family Health International (FHI) pada tahun 2005, Solo menjadi salah satu diantara tiga kota di Jawa Tengah selain Semarang dan Banyumas yang setiap tahun penambahan jumlah penderita HIV/AIDSnya cukkup tinggi. jumlah penderita HIV/AIDS sendiri pada tahun 2005 mencapai 7 orang penderita virus HIV dan 2 orang positif mengidap Aids. Secara komulatif dari tahun ke tahun penderita virus HIV/AIDS mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 8
Jumlah Penderita HIV dan AIDS Di Solo
Tahun HIV AIDS
1999 1 0
2000 0 0
2001 0 0
2002 1 0
2003 1 1
2004 4 1
2005 7 2
jumlah 14 4
Sumber: Dinas Kesehatan Surakarta
Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS tidak lepas dari posisi kota Solo sendiri yang merupakan daerah tujuan wisata dan letaknya yang strategis sehingga mobilitas penduduknya tingggi serta membawa konsekwensi kebutuhan jasa hiburan termasuk layanan seksual dan keberadaan kelomopok resiko tinggi. PSK merupakan kelompok yang paling tinggi terjangkit virus HIV/AIDS. Secara tidak langsung Pemerintah Kota juga ikut berperan dalam peningkatan jumlah penderita virus ini. Penutupan resosialisasi Silir berakibat tidak adanya lagi kontrol kesehatan terhadap pelacur dikarenakan sebelum resosialisasi ditutup. Pemkot bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pelacur tapi setelah penutupan pemeriksaan tidak ada lagi dan pemeriksaan kesehatan PSK dilakukan atas inisiatif sendiri-sendiri. Ironisnya dari sekitar 300an PSK baru sekitar 89 orang yang sadar dan rutin mengunjungi (Voluntary Counselling and Testing) VCT.

Pelacuran Jalanan

Bisnis pelacuran mempunyai beberapa jenis tipe yang dapat dilihat dari kelas seorang pelacur dengan pelacur lainnya. Indikator yang membedakan adalah umur, penampilan busana, fisik, wajah, tinggi badan, tarif, pelayanan di kamar, kemampuan berkomunikasi, pendidikan, lokasi untuk ”bermain” seks, sarana dan prasaran berkomunikasi. Tipe pelacuran seperti inilah yang membedakan keragaman bisnis prostitusi di dalam memenuhi keinginan seksual kaum laki-laki hidung belang.
Dilihat dari cara beroperasinya, pelacuran dapat dibagi menjadi 5 tipe, antara lain:
1. Pelacuran jalanan (Street Prostitution); sering terlihat sendiri menanti tamu di pinggir jalan tertentu di waktu malam hari, dengan aktivitas dan aksesoris yang vulgar. Mereka termasuk kategori rendah, jarang sekali memperhatikan kesehatan dan banyak yang tidak teriat dengan germo.
2. Pelacuran panggilan (Call Girl Prostitution), bersikap pasif dan menunggu panggilan lewat telpon dan termasuk dalam kategori pelacur menegah ke atas.
3. Pelacuran Rumah Bordil (Borthel Prostitution) terdiri dari 3 kelompok:
a) Terpencar dan berpencar dengan rumah penduduk.
b) Terpusat di suatu tempat yang biasanya merupakan kompleks dan terdapat beberapa rumah penduduk.
c) Terdapat di daerah khusus yang letaknya agak jauh dari rumah penduduk dan penempatannya ditunjuk berdasarkan SK (Surat Keputusan) Pemerintah Daerah dan sering disebut dengan lokalisasi
4. Pelacuran Terselubung (Clandestine Prostitution) seperti misalnya dalam bar, diskotek, panti pijat, salon dan sebagainya.
5. Pelacuran Amatir (Amateur Prostitution) bersifat rahasia, dikenal orang-orang tertentu, tarif sangat tinggi dan kegiatan melacur ini hanya dijadikan pekerjaan sampingan serta mempunyai pekerjaan resmi, terkadang memiliki kedudukan terhormat seperti artis, ibu rumah tangga, pegawai, mahasiswi dan sebagainya yang dikenal luas oleh masyarakat dan mereka ini sangat selektif dalam memilih tamu.
Di kota Solo, pada tahun 1950 pelacuran telah menjamur di berbagai tempat di tengah kota. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut Pemerintah kemudian mendirikan Resosialisasi Silir. Resosialisasi Silir sudah puluhan tahun berada di kota ini sehingga pelacuran bukanlah sesuatu yang terlalu asing bagi masyarakat kota Solo, hampir semua kalangan mengetahui nama dan lokasi pelacuran, akan tetapi belum banyak yang mengetahui bahwa proses pembanguanan sebuah kota terutama kota Solo telah menambah jumlah pelacur dan berkembang berbagai jenis pelacuran yang sulit ditemui pada awal-awal pembangunan.
Penutupan resosialisasi secara resmi oleh Pemerintah Daerah Surakarta ternyata menimbulkan permasalahan sosial yang lebih besar, Para pekerja seks komersial yang tadinya beroperasi di daerah resosialisasi, kini mulai beroperasi di jalanan dan menjaring langganan di jalanan dan hal ini menyebabkan maraknya kembali pelacuran jalanan.
Selain itu, berkembangnya pelacuran jalanan disebabkan banyak aspek dan sangat kompleks. Alasan-alasan melakukan tindakan prostitusi adalah tekanan ekonomi, karena tidak puas dengan posisi yang ada, karena kebodohan, kecacatan jiwa, karena sakit hati serta tidak puas dengan kehidupan seksual. Lebih spesifik lagi, terdapat dua faktor penyebab meningkatnya pelacuran yaitu faktor penawaran dan permintaan. Penawaran dikaitkan dengan rendahnya pendidikan dan kemiskinan dikalangan wanita dan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan proporsi mereka yang sangat tinggi di hampir semua jenis pelacuran. Aspek permintaan adalah semakin baiknya kesejahteraan dan kemampuan lelaki untuk membeli pelayanan seks. Walaupun demikian, dengan adanya perbaikan sosial ekonomi tidak bisa menghilangkan praktek prostitusi, karena hal ini berkaitan dengan permintaan, kejahatan dan ekspoitasi perempuan.
Di Kota Solo pelacuran jalanan melakukan operasinya di pinggir jalan, tempat umum, pojok kota, beroperasi pada malam hari, di keremangan jalanan kota dan dibawa ke mana saja untuk melakukan hubungan seksual, misalnya ke gubuk warung, mobil atau tempat lain sesuka pelanggan. Pekerja seks jalanan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelas sesuai dengan penampilan mereka. Bagi orang-orang awam sangat sulit sekali membedakan apakah wanita-wanita tersebut berprofesi sebagai pekerja seks jalanan atau wanita biasa. Sangat sulit sekali memperkirakan berapa jumlah pelacur jalanan yang ada di kota Solo. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh SPEK-HAM terdapat lebih dari 300 PSK yang melakukan operasi di jalanan. Kesulitan dalam melakukan pendataan jumlah PSK yang beroperasi di jalanan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya;
1. Tempat operasi yang tidak menetap dan sering kali berpindah-pindah.
2. Waktu operasi yang tidak menetap.
3. Terkadang transaksi diambil jalan tengah, hal ini biasa dilakukan oleh mereka yang telah menjadi pelanggan tetap.
4. Memerlukan waktu yang relatif lama untuk memastikan mereka itu sebagai pelacur jalanan.
5. Lokasi operasi yang menyebar di penjuru kota
Lokasi pelacuran jalanan di Surakarta tersebar di berbagai tempat di sekitar sudut penjuru kota Surakarta. Maraknya pelacuran yang secara tidak langsung didukung oleh warga masyarakat sekitar. Di kecamatan Banjarsari terdapat sekitar 46 hotel yang bebas digunakan sebagai aktivitas pelacuran terselubung. Masyarakat yang bersifat permisif malah banyak yang menyewakan tempat untuk praktek pelacuran.
Tempat di wilayah Kecamatan Banjarsari yang sering digunakan untuk mangkal para pelacur di antaranya Kelurahan Kestalan yang tepatnya di wilayah sekitar RRI, Kelurahan Setabelan yaitu di sekitar Monumen Perjuangan 45, Kelurahan Manahan di sekitar stadion manahan dan kelurahan Gilingan yang berada di sekitar terminal Tirtonadi.
Kawasan RRI merupakan salah satu lokasi pelacuran jalanan. Letaknya yang berada di tengah kota sangat mudah di jangkau baik pelacur maupun masyarakat umum. Aktivitas pelacuran di sini sangat mudah dilihat dan pada umumnya mereka akan didekati tamu-tamunya serta tarifnyapun dapat ditawar, setelah persetujuan disepakati meliputi tempat untuk melakukan pekerjaannya.
Tidak jauh dari RRI juga terdapat lokasi yang karakterisrtiknya hampir sama dengan RRI yaitu sekitar Monumen Perjuangan 45, di perempatan monumen tersebut biasanya aktivitas pelacuran berada. Setelah hari gelap tidak lama kemudian mulai muncul pelacur yang mangkal untuk mendapatkan tamu. Lokasi ini semakin ramai dengan kondisi lingkungan yang tanpa penerangan sehingga kondisi ini sangat mendukung untuk dijadikan tempat prostitusi. Tidak hanya perempuan dewasa, di monumen ini juga nampak pelacuran anak yang berkelompok menanti tamu yang datang. Mereka mengenakan pakaian yang minim sehingga mengundang perhatian dan dandanan yang menyolok serta sensual.
Tempat lain yang biasa digunakan untuk aktivitas prostitusi ditemukan di sekitar terminal Tirtonadi. Pada malam hari di sebelah timur terminal dan di depan deretan toko bahan bangunan, ada beberapa pelacur yang menjajakan diri secara terbuka dan menawarkan pelayanan seksual. Tempat ini semakin marak digunakan dikarenakan letak yang strategis terlebih lagi lokasi ini merupakan akses transportasi dari dan ke terminal. Ada hal yang menarik dari lokasi di sekitar wilayah tersebut, walaupun aktivitas pelacuran mengalami peningkatan namun hal ini tidak membuat warga sekitar merasa resah dikarenakan di antara mereka telah terjalin suatu kesepakatan tidak tertulis untuk saling menjaga stabilitas keamanan.
Perilaku pelacur jalanan umumnya selalu diidentikkan dengan sikap agresif, berpenampilan mencolok, suka menegur atau menggoda laki-laki yang lewat di hadapannya dan bersedia dibawa kemana saja untuk melakukan hubungan seksual sesuka pelanggan. Perilaku tersebut tidaklah semuanya bisa mewakili ciri-ciri pelacuran jalanan di Surakarta. Secara umum mereka cenderung pasif menanti pelanggan, walaupun ada beberapa yang kelihatan agresif. Pihak laki-lakilah yang justru kelihatan agresif melakukan pendekatan, mungkin ini stretegi mereka dalam menjaring pelanggan. Mereka cenderung menyendiri dan berdiam secara berkelompok dan seakan-akan memberikan peluang untuk didekati.
Secara umum, semua pelacur tidak bisa menolak setiap orang yang mengajak berkencan. Pelanggan yang telah membokingnya merupakan lahan penghasilan yang harus dipertahankan, dengan demikian secara sungguh-sungguh ia harus tetap menunjukkan pelayanan yang memuaskan terhadap teman kencannya. Apabila ada calon teman kencan yang tidak pelacur senangi, maka mereka akan tetap melayani teman kencan tersebut hanya sebatas keinginan untuk melepaskan hasrat seksual.
Perlakuan pelacur akan jauh berbeda ketika dia diajak kencan dengan orang yang mereka senangi. Kelompok orang yang termasuk disenangi oleh pelacur adalah mereka yang masih muda dengan pakaian serta penampilan rapi. Kalangan mahasiswa merupakan orang yang paling disenangi oleh pelacur. Di antara mereka berlaku gengsi tentang pelanggan yang berasal dari kalangan mahasiswa, oleh karena itu ada simbol-simbol seksual tertentu yang diberikan kepada pelanggan yang disenangi
Perlakuan pelacur dengan simbol diservice menunjukan pelayanan ekstra yang dilakukan oleh pelacur kepada pelanggan yang disenanginya. Diservice mempunyai arti bahwa teman kencan akan diperlakukan secara istimewa. Pelayanan yang diberikan sebelum penetrasi merupakan bentuk keistimewaan pelayanan yang diberikan kepada terman kencan. Perlakuan itu termasuk memberikan rangsangan tertentu dengan berbagai teknik yang dipunyai. Oral seks biasanya merupakan perlakuan utama kepada pelanggan yang termasuk kategori diservice. Perlakuan sebelum penetrasi merupakan pelayanan kepada pelanggan yang bertujuan memberikan kepuasan yang lebih, dengan cara itu pelanggan yang bertujuan memberikan kepuasan yang lebih dan dengan cara itu pula pelanggan yang bersangkutan tidak akan meninggalkan dirinya.
Simbol-simbol seksual yang berlaku di kalangan pelacur sebenarnya menunjukan orientasi seksual yang ada pada diri setiap pelacur. Di kalangan pelacur juga berlaku penikmatan seks yang diberikan oleh para pelanggannya. Pelacur secara nyata juga menikmati hubungan seks yang dilakukan oleh pelanggan tertentu . Keperkasaan yang disimbolkan dari kalangan muda merupakan orientasi penikmatan hubungan seks yang diharapkan oleh pelacur. Oleh karena itu, perlakuan kepada pelanggan mempunyai dua konotasi seks dikalangan pelacur. Pertama, ketika pelacur diajak kencan oleh orang yang tidak disukai maka pelayanan yang diberikan hanya sebatas kontrak kerja yang disepakati. Kedua, ketika pelacur diajak kencan orang yang mereka senangi maka mereka juga akan mendapatkan suatu kepuasan tidak hanya sebagaui obyek melainkan juga subyek. Di samping dianggap sebagai pelanggan yang ingin mendapatkan kepuasan seksual, pelanggan yang mereka senangi juga dianggap sebagai subjek yang dapat memberikan kepuasan seksual kepada dirinya. Dari pelanggan jenis inilah pelacur mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Secara fisik mereka mendapatkan pemenuhan hajat seksual dilain pihak pelacur akan mendapatkan bayaran yang selalu mereka harapkan dari pelanggan.
Perlakuan senang tidak senang kepada teman kencannya ternyata lebih didasarkan pada kebutuhan pribadi dari pelacur untuk mendapatkan imbalan seks dari perilaku yang diciptakannya dari teman kencannya. Sedemikian seringnya ia memberikan pelayanan ekstra kepada teman kencan sampai dia mengalami organsme yang dianggap sebagai puncak seks yang diharapkan. Padahal organsme tidak akan terjadi apabila melayani tamu yang tidak mereka senangi. Salah satu trik yang dilakukan untuk menyenangkan dan memberikan kebanggaan dari teman kencan yang tidak mereka sukai dengan cara berpura-pura mencapai organsme.
Pelacuran jalanan ini dikategorikan sebagai pelacuran golongan rendah dari segi tempat, tarif dan paling rawan terhadap penularan PMS (Penyakit Menular Seksual) namun, bukan berarti pelanggan jenis seks ini sedikit dan hanya berasal dari masyarakat golongan bawah karena ada juga pelanggan dari kalangan menengah ke atas yang menggunakan jasa mereka.
Di Solo sendiri, walaupun peraturan anti maksiat dijalankan dan operasi pekat (penyakit masyarakat) secara teratur diadakan, operasi ini tidak mengurangi jumlah pelacuran jalanan, bila tidak gagal karena adanya kebocoran kepada pekerja seks komersial, maka dalam setiap operasi dapat menjaring sekitar 20 – 30 an orang. Penangkapan ini memang dilanjutkan ke persidangan dengan denda yang bervariasi dari Rp. 500.000 per orang subsider 14 hari kurungan sampai denda Rp. 1000.000 per orang subsider penjara 21 hari kurungan, selebihnya mereka hanya dilakukan proses pendataan dan diberi nasehat untuk tidak lagi melakukan aktivitasnya lagi.


Jumlah Hasil Razia
1 Juni 2003 1 kali kegiatan razia 26 orang
2 Mei 2004 2 kali kegiatan razia 82 orang
3 Juni 2004 3 kali kegiatan razia 55 orang
4 Oktober 2004 1 kali kegiatan razia 19 orang
5 Desember 2004 2 kali kegiatan razia 31 orang
6 Januari 2005 1 kali kegiatan razia 17 orang
Sumber: Dinas Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB) 2003-2005

Operasi Pekat yang dilakukan pihak kepolisian yang bekerjasama dengan Dinas Sosial tidak berarti banyak, karena biasanya para PSK tidak beroperasi sesaat dan kemudian muncul untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Bahkan operasi pekat yang dilancarkan secara intens untuk menyembut bulan suci Ramadhan sering gagal karena informasi yang bocor, karena itu ketika dilakukan penggrebekan tempat-tempat mangkal yang biasa penuh dengan PSK tiba-tiba menjadi sepi. Disinyalir sejumlah oknum aparat keamanan justru terlibat menjadi beking dalam bisnis pelacuran jalanan ini.

Senin, 29 November 2010

Penutupan Resosialisasi Silir

Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dari program resosialisasi di lokalisasi Silir ini secara keseluruhan adalah untuk mengurangi tindak pelacuran dalam kota yang memberi pengaruh buruk dalam segi padagogis dan sosiologis, sedangkan tujuan jangka pendek yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk pengawasan dan pemeliharaan kondisi kesehatan para pelacur.
2. Untuk membantu membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab akan masa depan sehingga para pelacur dapat segera kembali hidup secara wajar dalam kehidupan masyarkat.
3. Untuk membantu memberikan bekal ketrampilan dan kesiapan mental bagi para pelacur dalam rangka upaya kembali ke dalam kehidupan masyarakat yang wajar.
4. Untuk membantu memberikan peran yang tetap bagi para pelacur yang ingin kembali ke dalam kehidupan masyarakat yang wajar.
Adanya resosialisasi Silir ini menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya kalangan moralis yang terdiri dari ulama dan tokoh masyarakat. Sikap pro kontra ini berkaitan dengan adanya pandangan yang saling bertentangan. Satu sisi resosialisasi dipandang sangat mengganggu kondisi sosial masyarakat dan kurang efektif dalam menangani masalah pelacuran, bahkan cenderung melegitimasi dan melegalkan pelacuran itu sendiri. Alasan yang lain karena fungsi Silir sebagai resosialisasi telah jauh melenceng, pada kenyataannya Silir berubah menjadi komplek lokalisasi.
Di sisi lain kelompok yang pro dengan kebijakan ini, yaitu terdiri dari kelompok pragmatis yang berasal dari Dinas Sosial, sebagian masyarakat kecil, para mucikari dan para pelacur. Sikap pro ini mempunyai beberapa alasan, dari para mucikari dan pelacur maka alasan-alasan yang diajukan sekitar masalah ekonomi, pembebasan tanah dan tunjangan bila mereka harus pergi dari kompleks tersebut, sedangkan dari Dinas Sosial dan sebagian kecil masyarakat beranggapan aktivitas yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial itu akan mempunyai dampak yang lebih besar bila dilakukan di luar komplek dibandingkan dengan yang dilakukan di dalam komplek dan aktivitas itu dapat diatur secar efisien. Selain itu, resosialisasi dipandang sebagai alternatif terbaik dalam menangani kondisi sosial dan kesehatan para pelacur yang selanjutnya diharapkan depat dikembalikan ke dalam kehidupan masyarkat secara wajar.
Adanya sikap pro kontra ini pada akhirnya mendorong pemerintah Kota Surakarta menutup resosialisasi Silir dan membentuk tim penutupan tempat Resosialisasi Silir Kotamadya Surakarta Berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 462.3/082/1/1998 tanggal 8 Juni 1998 dibentuk Tim Penutupan Resosialisasi Silir Kotamadya Surakarta. Menindaklanjuti Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 462.3/082/1/1998 maka dibuatlah Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 462.3/094/1/1998 berdasarkan keputusan tersebut, maka resosialisasi Silir dinyatakan ditutup dan kewenangan Dinas Sosial untuk mengelola tempat resosialisasi Silir atas dasar Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 462/165/1/1985 tanggal 30 Agustus 1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Keputusan Pemerintah Daerah Tinggkat II Surakarta untuk menutup resosialisasi Silir merupakan hasil dari tuntutan berbagai pihak. Berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 462.3/082/1/1998 tentang pembentukan Tim Penutupan Tempat Resosialisasi Silir Kotamadya Surakarta ditegaskan bahwa penutupan resosialisasi tersebut didasarkan atas :
a) Pendapat akhir Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta dalam penetapan Perhitungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 1995/1996 tanggal 29 Juli 1996.
b) Pendapat Fraksi Karya Pembangunan pada rapat Paripurna DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta dalam penetapan Perubahan APBD tahun 1996/1997 tanggal 10 Januari 1997.
c) Pendapat akhir Fraksi Persatuan Pembangunan pada Rapat Paripurna DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta dalam Penetapan Perubahan APBD 1997/1998 tanggal 31 Maret 1997.
Dasar pertimbangan yang digunakan untuk menutup resosialisasi Silir adalah bahwa Resosialisasi Silir sebagai tempat rehabilitasi bagi usaha-usaha pemberantasan tuna susila sebagaimana diatur dalam pasal 4 dan 5 Peratuaran Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 1 tahun 1975 tentang pemberantasan Tuna Susila dipandang tidak lagi mengemban fungsi sesuai dengan apa yang diharapkan.
Adapun unsur-unsur yang ada dalam Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 tahun 1975 adalah sebagai berikut :
• Kepala Daerah dapat mengadakan tempat rehabiitasi bagi usaha pemberantasan tuna susila sebagaimana tersebut dalam Pasal 5
Sedangkan Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 1975 berbunyi :
• Untuk mencapai usaha rehabilitasi Kepala Daerah melaksanakan usaha-usaha pemberansatan diantaranya sebagai berikut :
a. Bimbingan dan pendidikan rokhaniah, jasmaniah dan ketrampilan.
b. Usaha-usaha lain yang dapat menegaskan penghidupan dan kehidupannya di masyarakat.
Resosialisasi Silir resmi ditutup oleh Pemerintah Kota Surakarta pada tanggal 27 Agustus 1998. dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah daerah untuk menutup resosialisasi Silir, maka dibentuklah tim penutupan tempat resosialisasi Silir yang diketuai oleh Kepala Dinas Sosial Kotamadya Surakarta. Tugas tim ini antara lain:
1. Menginvestarisasi mucikari, anak binaan, kekayaan Tim Pengelola Daerah.
2. Merencanakan pemulangan para anak binaan.
3. Mengadakan penyuluhan dan pembinaan kepada penghuni kampung Silir sebelum penataan dimulai.
4. Melaksanakan Pendidikan ketrampilan bagi mucikari dan anak binaan.
5. Melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Walikotamdya Kepala Daerah.
Dari berbagai usulan yang disampaikan melalui fraksi-fraksi di DPRD tentang penutupan resosialisasi Silir, menginginkan lahan eks resosialisasi Silir beserta perluasannya digunakan sesuai kebutuhan dan dibangun fasilitas-fasilitas umum yang berupa pasar induk hasil bumi dan fasilitas transportasi

Perkembangan Resosialisasi Silir

Pada tahun 1961, dengan keputusan Kepala Daerah Kotapraja Surakarta No. 36/I/ Kep Tahun 1961, Pemerintah Daerah mengumpulkan para germo yang beroperasi di tengah kota untuk dilokalisasikan secara terpusat di tempat yang baru, yaitu di Silir. Para germo yang sering terkena razia selain masuk pengadilan, juga didata dan diberi pengarahan serta mendapat prioritas untuk menempati lokalisasi Silir. Di Silir, para germo mendapat hak pakai atas satu kapling tanah, akan tetapi mereka tidak boleh menjual tanah tersebut karena hak milik tanah dipegang oleh pemerintah daerah. Setiap tahun para germo harus mengajukan perpanjangan hak pakai atas tanah tersebut. Mereka diberi kewenangan untuk membangun sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selain itu, para germo dan mucikari diberi kewajiban untuk membina dan mendidik para PSK yang menjadi anak didik mereka.
Banjir hebat yang melanda Surakarta pada tahun 1964 yang disebabkan meluapnya sungai Bengawan Solo ini menyebabkan tergenangnya hampir seluruh wilayah kota Surakarta. Lokalisasi Silir yang kondisi geografisnya cukup rendah dan terletak dengan sungai Bengawan Solo tidak lepas dari terjangan banjir. Hal ini menyebabkan seluruh bangunan dan kawasan yang ada dilokalisasi sempat terendam air setinggi 3 meter. Hal ini pulalah yang menyebabkan para germo dan mucikari untuk melakukan perbaikan dan pembangunan kembali terhadap bangunan mereka.
Pada tahun 1980an, lokalisasi Silir mulai mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan ini tidak lepas dari kondisi ekonomi para germo itu sendiri yang mengalami peningkatan ekonomi yang sangat pesat, sehingga para germo dan memperbaiki tempat yang mereka tinggali. Dilihat dari jumlahnya, bangunan yang ada di lokalisasi Silir juga mengalami perkembangan. Kondisi ini disebabkan karena adanya germo-germo baru yang mengajukan kepada pemda untuk tinggal dan terjun ke dalam bisnis jasa seks yang ada di lokalisasi Silir. Apabila pada saat berdiri hanya ad sekitar 50 bangunan maka dalam perkembangannya menjadi 70 bangunan lebih.
Perkembangan fisik lokalisasi juga dapat dilihat dari tersediannya berbagai fasilitas umum. Apabila pada saat berdiri jalan-jalan di lokalisasi hanya jalan setapak dan becek pada saat musim hujan, maka sejak tahun 1980 telah dilakukan pengerasan dengan menggunakan bahan batu dan ukuran jalan juga diperlebar, sehingga kendaraan besar bisa masuk ke area. Selanjutnya pada tahun 1992 dilakukan perbaikan jalan yang ada di wilayah lokalisasi. Sejak adanya peningkatan fasilitas umum tersebut lokalisasi Silir mengalami perkembangan pesat. Baik dalam jumlah pelacur yang tinggal maupun jumlah tamu yang berkunjung.
Selain sarana jalan yang telah mengalami peningkatan, berbagai fasilitas umum lainnya seperti telepon umum juga mulai tersedia. Adanya perkembangan yang sangat pesat dari lokalisasi Silir ini mendorong warga setempat untuk mencari sumber penghasilan yaitu dengan mendirikan warung-warung di sekitar area lokalisasi. Pedagang makanan maupun pedagang keliling sering memanfaatkan lokalisasi Silir sebagai tempat berdagang. Kondisi tersebut berkembang secara terus menerus sampai ditutupnya lokalisasi

Sejarah Resosialisasi Silir

Resosialisasi Silir adalah termasuk dalam kompleks pelacuran yang terdaftar dan teratur dengan rapi di Indonesia. Resosialisasi ini sendiri terletak di pinggiran kota Solo sebelah timur. Bagi pengunjungnya disediakan karcis masuk, dan semua kendaraan yang masuk harus diparkir di sebelah luar lokasi. Silir merupakan shooping – center cinta yang rapi, penuh bau-bauan wangi yang khas dan gelak ria kaum wanita. Silir juga merupakan tempat yang menyenangkan bagi para petualang-petualang malam yang memerlukan cinta mesra dan memberikan kesegaran ”kasih” kepada pria-pria yang haus dan kesepian cinta.
Secara formal, penanganan masalah pelacuran dimulai sejak tahun 1953 yaitu dengan dikeluarkannya peraturan daerah kota besar surakarta nomor 10 tahun 1953 tentang pemberantasan pelacuran. Namun hasilnya sangat jauh dari yang dinginkan, maka dianggap perlu meminimalkan pengaruh buruk dari pelacuran dengan jalan membatasi tindak pelacuran dalam suatu tempat khusus Pada tahun 1959, melihat maraknya pelacuran di jalan-jalan kota Solo, Masyumi sebagai partai yang berpegang pada ajaran-ajaran agama Islam merasa khawatir dengan fernomena tersebut. Hal ini disebabkan karena dampak dari adanya perkembangan pelacuran liar yang begitu pesat tersebut ternyata telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat kota Solo. Kejahatan menjadi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah preman-preman dan tidak jarang terjadi kasus perkelahian antar preman, antar pelacur, antar lelaki hidung belang yang disebabkan berebut pelanggan. Kondisi tersebut mendorong partai Masyumi mengajukan ide untuk menempatkan para pekerja seks tersebut ke dalam suatu tempat yang terisolir. Hal ini meminimalkan imbas negatif yang timbul dari adanya aktivitas tersebut. Ide teresebut menadapat respon positif dari walikota pada saat itu Hutomo Ramelan, yang selanjutnya membentuk badan pelaksana yang disebut Badan Pemerintah Harian yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat dan diketuai oleh K.H. Sahlan Rosidi.
Melalui perdebatan pro dan kontra akhirnya keputusan tersebut dapat terealisasi pada tahun 1961 Kepala Daerah Kotapraja Surakarta mengeluarkan Surat Keputusan No.36/1/ Kep. Tentang Penunjukan Kampung Silir sebagai pengecualian yang dimaksud Pasal 4 Perda Kota Besar Surakarta No. 10 tahun 1953. dikeluarkanya Surat keputusan No.36/1/ Kep, didasarkan pertimbangan bahwa:
1. Hasil pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Besar Surakarta No. 10 tahun 1953 belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan.
2. Dibiarkan tindak pelacuran dalam kota dapat memberikan pengaruh buruk dalam segi padagogis dan sosiologis kepada masyarakat sekitarnya.
3. Dipandang perlu untuk membatasi tindak pelacuran dalam suatu tempat khusus, disamping larangan yang termasuk dalam peraturan diatas.
4. Dengan diadakannya lokalisasi diharapkan:
a) Pengurangan tindak pelacuran dalam kota yang memberikan pengaruh buruk dalam segi pedagogis dan sosiologis.
b) Lebih efektif dalam pengawasan tentang kesehatan dan pendidikan untuk membantu usaha rehabilitasi kemayarakatan.
Penetapan kampung Silir sebagai tempat lokalisasi bagi para pelacur tersebut. Sedangkan alasan yang menjadi pertimbambangan dipilihnya kampung silir sebagai tempat lokalisasi bagi para pelacur tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Kampung Silir terletak di luar pusat kota Surakarta dan letaknya cukup terisolir. Penempatan lokalisasi pelacur di tempat ini diharapkan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat luas dari adanya aktivitas tersebut dapat diminimalisir atau ditekan.
2. Sejak dahulu kampung Silir sudah memiliki legenda yang dikenal sebagai daerah maksiat oleh masyarakat sekitarnya. Ketika itu Silir dikenal sebagai tempat memelihara kuda-kuda kerajaan kasusunan, dimana para penjaga kuda yang dikenal dengan istilah pekatik yang tinggal dan bermalam tersebut sering membawa wanita-wanita penghibur yang diajak bermalam. Lama kelamaan hal tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Kebiasaan membawa wanita penghibur ke dalam kandang mendapat pandangan yang tidak baik oleh masyarakat, akhirnya daerah silir yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai tempat maksiat. Karena adanya citra buruk tersebut maka dipilihlah kampung silir sebagai tempat penampungan para germo dan WTS.
Selanjutnya dengan kebijaksanaan tersebut permerintah daerah berharap bahwa adanya fenomena pelacuran liar dan terselubung yang berkembang di ambil oleh pemerintah pada waktu itu memang telah cukup tepat, karena dengan memusatkan kegiatan para pelacur dalam satu kawasan, kota akan terhindar dari kegiatan transaksi seks di jalanan. Selain itu melalui kebijakan ini, pemerintah daerah berharap bahwa daerah pemukiman penduduk dan hotel-hotel tertentu daerah turis di kota akan terbebas dari aktivitas pelacuran.
Dari segi kesehatan, adanya kebijakan tersebut juga dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat memantau perilaku para pelacur, germo serta pengguna jasa seks dalam industri seks. Dengan memantau perilaku mereka diharapakan dapat berbagai dampak kesehatan yang ditimbulkan seperti adanya penularan berbagai penyakit kelamin dapat diantisipasi sejak dini.
Tanah yang ada di daerah Silir pada waktu itu masih merupakan milik kraton kasusunan sebagai tempat pemeliharaan dan penguburan kuda-kuda kerjaan, maka pemerintah meminta kepada pihak keraton menggunakan tanah tersebut sebagai tempat lokalisasi. Setelah mendapat izin serta diberikan hak atas kepemilikan tanah tersebut, maka langkah selanjutnya dilakukan oleh pemerintah adalah mengumpulakan para germo dan mucikari, liar yang ada di kawasan kota surakarta seperti di daerah gilingan, RRI dan di sekitar wilayah alun-alun kidul untuk diadakan pengarahan dan pendataan yang kemudian diberi hak untuk menggunakan wilayah lokalisasi silir untuk digunakan sebagai tempat menjalankan usaha di bidang jasa seks. Selain itu, para germo dan mucikari diberi kewajiban untuk membina para pelacur yang telah menjadi anak didik mereka. Para germo disini hanya memiliki hak untuk menggunakan dan bukan hakl milik atas tanah yang mereka tempati sehinmgga mereka dilarang menjual tanah yang mereka tempati. Selanjutnya di atas tanah tersebut para pelacur diberi wewenang untuk membangun dan mendirikan bangunan sesuai dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki guna menampung pelacur yang menjadi anak didik mereka.
Penunjukkan kampung Silir secara resmi sebagai tempat untuk lokalisasi dengan maksud agar pengawasan terhadap pelacuran dapat lebih efektif, terutama pengawasan di bidang kesehatan dan pendidikan sebagai upaya untuk membantu usaha rehabilitasi kemasyarakatan. Pada tahun 1975, peraturan daerah tersebut diperbaharui dengan Peraturan Daerah Tingkat II Surakarta No. 1 tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila.
Untuk memperlancar pengelolaan resosialisasi Silir melalui Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta No. 462/165/1/1985 Tentang Penunjukan Kewenangan Pengelolaan Tempat Resosialisasi Silir, maka ditunjuklah Dinas Sosial Kotamadya Dati II Surakarta sebagai instansi yang berwenang mengelolanya. Hal ini ditindak lanjuti oleh Dinas Sosial dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Dinas Sosial Kotamadya Dati II Surakarta No. 462.3/111 – II – 1986, tentang Penunjukan Kewenangan Pelaksanaan Tugas Panitia Pengelola Resosialisasi Silir. Kemudian atas keputusan ini dibentuklah tim panitia pengelola yang berwenang dan bertanggung jawab untuk mengelola secara operasional resosialisasi Silir.

Perseliran dan Pergundikan

Anggapan wanita menjadi dominasi bagi pria dapat dilihat dalam pola perseliran di kalangan raja-raja dan bangsawan serta priyayi atau pejabat tinggi dan pergundikan di kalangan orang-orang Eropa. Beberapa orang selir raja adalah putri-putri bangsawan yang dengan sengaja diserahkan ayahnya sebagai tanda kesetiaan dan sebagian lagi sebagai persembahan dari kerajaan-kerajaan lain. Ada pula selir yang berasal dari masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan keluarganya dengan tujuan untuk meningkatkan posisi keluarga agar memiliki hubungan darah dengan keluarga istana. Semakin banyak jumlah selir yang dimiliki raja tentu banyak pula keturunan raja, sehingga ini dianggap menjadi penanda kuatnya kedudukan raja di mata rakyatnya. Tidak jarang perempuan-perempuan desa diangkut ke istana untuk dijadikan ‘istri-istri percobaan’ bagi raja atau para pangeran sampai diperoleh perempuan sederajat yang akan dinikahi secara resmi oleh raja atau para pangeran. Istri percobaan ini dapat diusir sewaktu-waktu dari istana dan mereka tidak berhak mengasuh anak yang dilahirkannya hasil hubungan dengan raja atau pengeran.
Selir dalam bahasa Jawa halus disebut garwa ampeyan, seorang wanita yang telah diikat oleh tali kekeluargaan oleh seorang lelaki, tetapi tidak berstatus istri. Status selir di bawah istri dan tugasnya membuat laki-laki itu selalu senang. Itu sebabnya, selir juga disebut klangenan. Peran selir dan permaisuri berbeda. Permaisuri resmi mendampingi raja sehari-hari dalam urusan kerajaan, sementara para selir hanya melayani kebutuhan raja dalam hal “urusan belakang”. Segi lain dari perseliran, yakni soal seks. Sebagai seorang raja, citranya akan menurun bila jajan di sembarang tempat. Banyak cara untuk menjadi selir salah satunya menjadi penari bedoyo, ini sebuah modus agar raja sempat melihat penari tersebut. Jika raja tertarik, penari bedoyo naik pangkat menjadi peloro-loro. Bila suatu hari raja memerintahkan punggawanya membawa seorang peloro-loro ke kamar, itulah awalnya gadis penari menjadi selir, dan keluarga wanita itu akan bangga sekali.
Pergundikan di kalangan orang Eropa juga merupakan suatu bentuk dominasi pria terhadap wanita. Mereka yang menjadi gundik dikenal dengan sebutan nyai. Menjadi seorang nyai bagi pria Eropa bukan suatu pilihan seorang wanita pribumi. Untuk menjadi nyai tidak selalu berawal dari menjadi babu bagi orang Eropa, meskipun sebagian besar berawal dari menjadi babu. Biasanya nyai yang berawal dari seorang babu berasal dari kalangan masyarakat rendah atau keluarga petani. Mereka menyerahkan anak perempuannya kepada para tuan Eropa demi meningkatkan ekonomi. Selain berawal dari seseorang menjadi babu, ada pula nyai dari kalangan priyayi yang diserahkan ayahnya demi mengamankan kedudukan dan jabatan sang ayah. Tentunya nyai dari kalangan priyayi kedudukannya dipandang lebih tinggi dibandingkan dengan nyai yang berawal dari seorang babu. Posisi nyai tidak dapat disamakan dengan selir di kalangan bangsawan penduduk pribumi. Selir adalah istri yang dinikahi secara resmi tetapi kedudukannya lebih rendah dari istri pertama. Sedangkan nyai adalah perempuan simpanan yang tidak dinikahi secara resmi. Nyai hanya dianggap sebagai istri sementara tanpa didasari suatu ikatan resmi, sewaktu-waktu seorang nyai dapat ditinggalkan oleh suaminya tanpa sanksi hukum.

Peran Wanita Dalam Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa seiring perkembangan adat dari masa Jawa Kuna memiliki sifat patriarkhi yang begitu kental denga

Masyarakat Jawa seiring perkembangan adat dari masa Jawa Kuna memiliki sifat patriarkhi yang begitu kental dengan menonjolkan peranan dominan kaum pria, sedang kaum wanita memperoleh kedudukan serta peranan yang tidak terlalu menonjol. Pada hakekatnya dalam masyarakat patriakhi dominasi pria meliputi berbagai aspek kehidupan antara lain bidang sosial, politik, sosio-kultural, religius. Dalam lingkungan keluarga, pria menjadi kepala keluarga mempunyai kekuasaan sebagai pemberi keputusan, sebagai pencari nafkah, jabatannya menentukan status keluarga, penentu garis keturunan, pemimpin kerabat. Selain itu, peranan seksualitas dominan dengan adanya lembaga poligami.
Lelaki dilihat mempunyai model yang ditegaskan dengan sifat-sifat otoriter, kejantanan fisik (kuat dan terampil), dinamis dan aktif. Pihak lelaki dengan demikian lebih banyak berkomunikasi ke luar, bertindak, bertanggungjawab, dan produktif. Berbeda dengan peranan perempuan sebagai ibu secara wajar menciptakan peranan pendidikan anak-anak serta segala pengaturan rumah tangga. Tidak mengherankan apabila peranan perempuan lebih pada lingkungan keluarga dan rumah tangga, sehingga ada istilah “kanca wingking” bagi para suami. Wanita tidak banyak bertindak ke luar, lebih statis dan pasif, tunduk dan taat kepada kepala keluarga. Fungsi sosial dan ekonomi wanita berbeda dari pria, dan secara keseluruhan status wanita dianggap rendah. Meskipun terdapat banyak perbedaan lokal, posisi sosial wanita bagaimanapun lebih baik jika dibandingkan hak-hak wanita di banyak negara di Asia. Dalam bidang pertanian, tempat wanita mempunyai fungsi ekonomi yang sangat penting, posisi mereka sama sekali tidak direndahkan.
Pandangan mengenai anggapan rendahnya kedudukan wanita disebabkan karena sejak awal menurut adat tradisi selalu ditekankan perbedaan perlakuan antara pria dan wanita, salah satunya dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi kaum wanita belum bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat umum. Di pedesaan bagi banyak keluarga petani, sekolah hanya merupakan suatu hal yang baru. Anak dari keluarga petani di pedesaan umumnya tidak mengenal akan pentingnya pendidikan. Bagi mereka seorang anak, apalagi anak perempuan hanya berkewajiban untuk membantu orang tuanya meningkatkan ekonomi keluarga dengan melakukan pekerjaan di sawah atau perkebunan-perkebunan swasta atau di pabrik. Kondisi ini menunjukkan adanya keluguan atau kebutaan ekonomi perempuan desa yang sederhana, perempuan miskin yang tidak berdaya. Pandangan tentang penduduk desa kebanyakan masih bodoh, yang berarti masih belum berpendidikan.
Bagi keluarga-keluarga priyayi sekolah merupakan sesuatu hal yang penting. Ketika belum ada sekolah bagi penduduk pribumi, para keluarga priyayi yang berpangkat tinggi dan para keluarga bangsawan sering mendatangkan guru-guru Belanda untuk mengajar anak-anak mereka di rumah. Mereka mendapat pelajaran umum yang diajarkan di sekolah-sekolah seperti pelajaran berhitung, ilmu bumi, sejarah, mengarang, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga belajar mengenal tata cara serta adat istiadat kehidupan Belanda, sehingga dari sini mereka mulai mendapat pengaruh nilai budaya Belanda dan Eropa Barat.
Bagi pria dari kalangan keluarga priyayi sejak kecil sudah mendapat hak untuk mengenyam pendidikan hingga dewasa. Ketika sekolah-sekolah kejuruan untuk para pegawai Pangreh Praja dibuka, banyak anak pegawai tinggi menjadi murid di sana, dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan sebagai Pangreh Praja kelak, yakni menjadi pejabat kerajaan. Berbeda bagi anak-anak wanita yang dianggap tidak pantas untuk pergi sekolah, mereka harus tinggal di rumah atau dikenal dengan istilah dipingit dan belajar mengurus rumah tangga dengan baik. Biasanya anak wanita yang mulai dipingit usianya berkisar 10-12 tahun. Pingitan ini diberlakukan bagi anak-anak gadis kalangan priyayi atau bangsawan dengan tujuan untuk nantinya bila sudah saatnya akan dijodohkan dengan pria yang menjadi pilihan orang tuanya sebagai bentuk penguatan prestise jabatan bagi orang tua atau ayahnya. Mulai dari sinilah muncul pandangan bahwa peranan pria lebih dominan dan kedudukan wanita dipandang terlihat lebih rendah.
Bagi perempuan, dianggap sebagai lambang “tradisi” karena mereka “secara alami” menjalani ritual keluarga, pekerjaan, dan agama mereka sehari-hari. Perempuan cenderung merupakan penengah antara “inovasi dan tradisi” dan yang menjadi penengah antara dorongan yang berorientasi masa depan, dan yang masih berpegang mempertahankan tradisi masa lampau. Kodrat wanita sebagai ibu dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga berbaur dengan penghargaan terhadap adat. “Tradisi” mencakup berbagai kebiasaan pribadi atau kebiasaan budaya yang tanpa terasa senantiasa berubah. Ritual dan rutinitas perempuan di dalam kehidupan sehari-hari, pada gilirannya merupakan patokan yang dipakai untuk mengukur makna dan “keaslian” tradisi.
Secara umum dalam masyarakat tradisional dan patriarkhal bukan hal yang menakjubkan apabila kedudukan serta peranan pria adalah dominan. Ada pembagian kerja yang terlihat menonjol antara pria dan wanita. Fungsi-fungsi sosial para pria mencakup kegiatan yang dinamis dan mobilitas yang tinggi dan secara umum menuntut kekuatan fisik yang lebih besar. Wajah wanita lebih dilihat dari model kehalusan, kelemahlembutan, kesederhanaan, kerendahhatian, berperasaan halus, dan peka. Ini menjadi daya tarik bagi lawan jenisnya. Nilai-nilai keperawanan, kemurnian, kehalusan, dan ketenangan sangat dijunjung tinggi, kondisi ini dituntut oleh kaum pria yang mencari jodohnya. Di sini dominasi pria menonjol, sebab wanita dianggap sebagai obyek seksualitasnya dituntut persyaratan yang tidak berlaku bagi si pria sendiri. Dominasi pria seharusnya tidak memojokkan dan memerosotkan kedudukan wanita hanya obyek seksual suatu fungsi sosio-biologis belaka, namun setidaknya keberadaan wanita mampu menjadi pelengkap bagi kehidupan kaum pria.
Kehidupan seks manusia memang sering mewarnai dan mempengaruhi tiap perilaku seseorang. Budaya Patriakhi (kebapakan) selalu menyudutkan kaum permpuan, membuat perempuan tidak memiliki kebebasan atas diri dan tubuhnya sendiri. Di bumi nusantara khususnya Jawa, budaya ini masih berperan dominan dan berakar kuat di masyarakat, dalam kehidupan politik, budaya, dan keagamaan. Dari zaman ke zaman ini adalah suatu bentuk ketimpangan dalam perlakuan adil terhadap hak perempuan dalam masyarakt, padahal antara lelaki dan perempuan memiliki kesetaraan hak baik secara materi maupun spiritual.

Tradisi Budaya dan Masuknya budaya luar di Surakarta

Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar sebagai Frame of Refernce yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok. Sebagai kerangka acuan kebudayaan merupakan serangkaian nilai yang telah disepakati dan mengatur bagaimana sesuatu yang bersifat ideal diwujudkan. Kebudayaan sebgai simbol (materi) merujuk pada bagaimana budaya “dimanfaatkan” untuk menegaskkan batas-batas kelompok.
Kebudayaan bagi suatu kelompok telah menjadi standar ukuran dalam menilai dan mewujudkan tingkah laku. Nilai baik dan buruk kemudian diukur berdasarkan ukuran yang berlaku dan telah disepakati dan dijaga. Kebudayaan ideel yang biasa disebut adat tata kelakuan atau secara singakat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Kebudayaan ideel yang berfungsi sebagai pengatur kelakuan, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsinya secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah sistem nilai budaya kemudian pada lapisan yang kedua yaoiut sistem norma-nomra adalah lebih konkret dan sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma adalah lebih konkret lagi, sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret tetapi terbatas ruang lingkupnya.
Secara umum budaya masyarakat Surakarta sama seperti budaya masyarakat Jawa pada umumnya. Sebagai salah satu kota budaya Jawa, maka masyarakat Solo dengan sendirinya masih sangat lekat dengan sejarah dan warisan para leluhurnya. Keyakinan terhadap tingginya nilai-nilai budaya Jawa termasuk landasan filosofinya menjadi ajaran yang perlu untuk diingatkan dan disadarkan kembali.
Orang Jawa tidak terkecuali Surakarta termasuk peka dan bangga terhadap budayanya. Berbicara tentang budaya Jawa terdapat beberapa tradisi sikap, filosofi kehidupan dan penyampaian pendapat yang tidak mudah dimengerti oleh orang yang belum mengenal dan menghayati budaya Jawa.
Pergantian slogan dari “Solo kota budaya” menjadi “Spirit Of Java” bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat masa lalu yang telah hilang lewat slogan baru tersebut. Tidak hanya ingin mengenalkan peri kehidupan Jawa, Solo lewat slogan tersebut tampaknya ingin membangun diri agar menjadi jiwanya jawa. Selain itu, slogan tersebut bukan saja hanya slogan menyombongkan kota Surakarta, fakta telah membuktikan bahwa Solo adalah pusat kota budaya. Sejak zaman kerajaan mataram yang diperintah oleh raja Pakubuwono II, kota Solo terkenal menjadi kota yang menjunjung tinggi kebudayaan sendiri.
Kebudayaan Jawa yang hidup di Surakarta merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di Keraton. Sesungguhnya peradaban itu adalah bagian atau unsur kebudayaan yang mengutamakan aspek kehalusan dan keindahan. Peradaban keraton itu meliputi kesusastraan (bahasa), seni tari, seni suara dan upacara-upacara yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejak empat atau lima abad yang lalu.
Ketika kota Surakarta tumbuh semakin mantap, terjadi dialog juga antara tradisi dan kota. Dalam hal ini kota mampu menyerap dan mengembangkan secara kreatif seni pertunjukan istana atau pun rakyat. Wayang orang panggung adalah contoh hasil kreativitas kota. Ketika itu wayang wong Istana Mangkunegaran yang mencapai puncak kemegahan di bawah patronanse Mangkunagara V, terpaksa mandeg karena istana itu dilanda krisis ekonomi. Dalam kemandegan itulah di luar istana lahir wayang orang panggung untuk dikomersialkan.
Sebagai kota budaya, maka sudah sepantasnya kota Surakarta masih memilki sisa-sisa warisan tersebut, selain berupa bangunan fisik (keraton), juga sistem perilaku dan norma-norma masih mengental di sanubari masyarakat kota Surakarta. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota Surakarta mengenal apa yang dinamakan berbagai bentuk tari-tarian, tata busana ala kerajaan, sistem bahasa, bangunan rumah, bentuk-bentuk upacara, dan lain sebagainya.
Pengaruh suatu budaya baru terhadap budaya lama dapat mengakibatkan pergeseran atas suatu identitas budaya masyarakat pendukungnya. Dengan demikian perubahan tersebut akan berakhir pada perubahan pengaruh dalam pandangan jiwa etnis tertentu dalam hal ini etnis Jawa, baik berdampak positif maupun negatif. Dampak Positif akan muncul apabila proses penetrasi budaya luar dan penegakannya akan kondisi yang telah ada menerima sehingga terjadi inkulturasi budaya. Dampak negatif akan terjadi apabila terdapat sikap menolak terhadap datangnya unsur-unsur budaya asing yang baru dan berujung akan kemunculan reaksi dari masyarakat yang menerimanya.
Era globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respon ketat karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan kekayaan bagi kelompok dan masyarakat. Proses ini telah memaksa pasar menjadi kekuatan ekonomi yang dominan dalam pembentukan nilai dan tatanan sosial yang bertumpu pada prinsip-prinsip komunikasi padat dan canggih. Pasar disamping telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitasi batas-batas sosial juga mengaburkan batas-batas itu sendiri sehingga mengakibatkan berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat.
Globalisasi telah mengikis apa yang selama ini mengakar dalam diri orang Jawa. Generasi-generasi yang begitu mengagungkan nilai-nilai kehidupan ala Jawa dianggap sebagai orang-orang kolot dan digantikan oleh generasi-generasi yang mengagunkan globalisasi, generasi-generasi yang ingin menjadi globalis tapi masih berpikiran lokal. Hal ini pulalah yang menghancurkan peri kehidupan saat ini. Di sisi lain, orang ingin tampak maju dengan mengkonsumsi food, fashion dan fun ala barat akan tetapi tidak mampu mengkonsumsi semangat hidup yang positif sehingga hal ini melahirkan generasi-generasi yang mengalami suatu krisis identitas.
Salah satu visi dari kota Surakarta adalah mewujudkan kota Surakarta sebagai kota budaya dengan pemberdayaan dari berbagai aset, baik ekonomi, sosial maupun budaya itu sendiri. Akan tetapi, pada kenyataannya Surakarta sangat jauh dari semangat mempertahankan Surakarta sebagai Kota budaya. Kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya nenek moyang sangat memprihatinkan. Selain banyaknya kerusakan-kerusakan, hal ini diperparah dengan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelestarian terhadap cagar budaya yang ada di kota Surakarta.
Wong Jowo ilang Jawane, sebuah sindiran dimana menggambarkan suatu refleksi dari sebuah pengalaman yang panjang dari perjalanan masyarakat Solo. Wong Jowa sendiri masih ada secara etnis. Hal itu bisa dilihat dari ciri-ciri fisik, nama, aksebtuasi dan pelafalan, adat maupun karakteristik makanannya. Citra orang Jawa yang selalu berpegang pada prinsip-prinsip budaya adi luhung sekarang tinggal kata-kata karena hanya dirumuskan dalam kata-kata saja, sedangkan dalam praktek sehari-hari sudah jauh dari itu. Dengan adanya kebudayaan lain yang masuk, Pengertian untuk menggali budaya dan filosofi Jawa juga sudah mulai terkikis sehingga tinggal ilmunya dan implementasi dalam kehidupan itu sudah tidak ada dan perlu digali kembali. Budaya luar yang syarat dengan muatan matrealisme dan hedonisme masuk dan akhirnya mempengaruhi kebudayaan yang sudah ada.
Pembangunan ekonomi yang begitu pesat, dengan ditandai berdirinya bangunan-bangunan yang berdiri kokoh di beberapa sudut kota Solo. Hal ini menandakan telah terjadinya suatu pergeseran budaya dari budaya asli Solo ke budaya kapitalis. Di dalam era globalisasi, Solo sendiri seakan berada dalam kondisi yang dilematis. Di satu sisi berusaha untuk mempertahankan budaya, namun disisi lain harus mengikuti arus perkembangan zaman