Selasa, 30 November 2010

Permasalahan Tentang Pelacuran

Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi soasial yang ditimbulkannya. Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Karena disamping disebut sebagai profesi yang tertua, jasa pelacuran pada hakekatnya tetap dicari oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Karena itu pelacuran memerlukan penanganan komprehensif dari berbagai pihak.
Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut) dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia. Walaupun prostitusi sudah ada sejak dulu, namun masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa. Namun masa jaman sekarang prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang biasa. Norma-norma sosial jelas mengharamkan prostitusi, bahkan sudah ada UU mengenai praktek prostitusi yang ditinjau dari segi Yuridis dalam KUHP yaitu mereka menyediakan sarana tempat persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggaran bagi pelacur (pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-klaki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP). Dunia kesehatan juga menunjukkan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan seperti HIV / AIDS akibat adanya pelacuran di tengah masyarakat.
Sekalipun disadari bahwa pelacuran itu tidak mungkin diberantas namun usaha-usaha penanggulangan dalam arti sekurang-kurangnya menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah pelacur dan pelacuran, pemerintah atau pemerintah daerah telah menyusun program-program kegiatan dan kebijakan-kebijaan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk penanganan dan penanggulangan terhadap permasalahan pelacuran tersebut.
Sejarah penanganan masalah pelacuran di kota Surakarta telah dilakukan sejak tahun 1953 dengan dikeluarkannya Peratuan Daerah Kota Besar Surakarta Nomor 10 tahun 1953, dikarenakan tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat itu, maka kemudian Peraturan Daerah ini diganti dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila, walaupun secara politis dan regulatif telah dilarang dengan Peraturan Daerah, namun pada kenyataannya di lapangan PSK masih melakukan prakteknya dan kegiatan eksploitasi seksual komersial di Surakarta sudah sangat memprihatinkan.
Hal ini pulalah yang melatar belakangi sebagian ormas-ormas Islam mengadakan suatu tindakan perlawanan terhadap kegiatan pelacuran komersial yang ada di kota Surakarta karena dalam ajaran agama Islam prostitusi merupakan salah satu perbuatan zina dan zina hukumnya haram dan termasuk kategori dosa besar. Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang berzina yaitu para pezina yang masih bujang di hukum cambuk delapan puluh kali (An-Nur : 4) dan “yang sudah menikah dilempari batu 100 kali, alias mati. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal darah bagi seorang muslim yang bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulnya, kecuali disebabkan oleh salah satu dari tiga hal : orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya serta memisahkan dari jamaah”.
Islam secara terang-terangan mengharamkan segala perbuatan zina seperti yang terdapat dalam surat AL Israa ayat 32 : dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sejahat-jahatnya perjalanan. Surat ini menjelaskan tentang larangan untuk melakukan perbuatan zina bahkan untuk mendekatinya pun tidak diperbolehkan. Dari latar belakang itulah organisasi-organisasi massa Islam di Surakarta yang berasaskan Al Quran dan Hadist menentang segala tindakan perbuatan yang berkaitan dengan dunia pelacuran selalu mereka tindak tegas. Karena perbuatan itu tidak sesuai dengan kaidah yang mereka anut dan bertentangan dengan Islam.
Perlawanan ormas-ormas Islam dapat dilihat dalam beberapa peristiwa seperti yang terjadi pada Pada tanggal 13 Oktober 2000, sekitar 100 anggota Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo mendatangi sejumlah tempat yang dijadikan tempat penampungan pekerja seks komersial. Kedatangan mereka selain memberi peringatan keras agar tidak melakukan aktifitas lagi juga memberikan penyuluhan keagamaan dan sebagai bukti atas kedatangan Hizbullah, setiap masuk ke rumah penampungan dibuat berita acara aksi kemudian pihak pengelola penampungan diminta membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kedatangan mereka. Pembuatan berita acara ini sendiri bertujuan untuk dikirimkan ke Kapolresta, Walikota, DPRD Solo serta pihak-pihak yang berkompeten agar mengambil tindakan lebih lanjut lagi. Dalam aksinya tersebut tempat yang mereka datangi antara lain rumah di Jl. Adisucipto No 99 dan 149 serta rumah di Jl. Hasanuddin No. 62. Selain mendatangi tempat-tempat penampungan pekerja seks komersial, Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo juga mendatangi salon-salon yang diindikasikan juga melakukan kegiatan pelacuran.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Laskar Islam, kalau Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo lebih pada tempat-tempat penampungan pekerja seks komersial dan salon, sedang Laskar Islam lebih kepada tempat-tempat yang sering dijadikan pelacur untuk beroperasi serta tempat-temapt hiburan malam yang ada di kota Solo. Sekitar 200 orang yang sebagian besar berseragam putih-putih bergerak dari lapangan Kartopuran dengan mengendarai sepeda motor dan satu unit mobil bak terbuka. Mereka menyusuri tempat-tempat hiburan malam serta warung remang-remang. Kawasan Gilingan, kawasan Monumen 45 dan Alun-Alun Kidul yang selama ini dikenal tempat mangkal pelacur juga menjadi sasaran aksi mereka. Para pelacur berlarian begitu datang kelompok ini. Begitu pula lokalisasi Silir juga didatangi massa.
Selain itu, Hampir semua diskotik dan kafe disambangi kelompok massa ini. Di antaranya kafe Fortuna di Jalan Bhayangkara, Diskotek Freedom di Balekambang, Diskotek Legend di Pasar Gedhe, dan lainnya. Namun kebanyakan tempat-tempat itu sudah tutup sebelum mereka tiba di lokasi untuk menghindari benturan dengan mereka. Para pengelola tempat hiburan tersebut memilih menutup tempat usahanya lebih awal sebelum kelompok ini datang. Karena beberapa hari sebelumnya, massa yang mengatasnamakan Koalisi Ummat Islam Surakarta (KUIS) pernah melakukan aktivitas yang sama. Kericuhan hampir saja terjadi antara kelompok KUIS dan masyarakat. Saat melintas di kawasan Silir, mereka melewati sekelompok warga yang sedang nongkrong di warung. Tanpa sebab yang jelas, terjadi adu mulut. Hampir saja terjadi baku hantam namun bisa dicegah setelah pemimpin KUIS meredakan emosi anggotanya. Di dalam razia ini KUIS menyita secara paksa ratusan botol minuman keras yang tersimpan dalam puluhan kardus.
Peristiwa lainnya yang kerap menimbulkan aksi ormas-ormas Islam yang ada di kota Surakarta adalah setiap menjelang bulan suci Ramadhan banyak sekali ormas-ormas Islam yang menuntut agar tempat-temapt hiburan yang ada di kota Solo ini ditutup, tercatat kurang lebih 48 ormas Islam melakukan aksi konvoi tersebut. Aksi ini diprakarsai Forum Komunikasi Antar Masjid Indonesia (Forkami) ini diikuti ribuan massa dari FPIS, Mujahidin Surakarta, Forkuis, FKAM, perguruan Silat tenaga ghaib Honggo Dremo, Brigade Hisbullah, Lasykar Jundullah serta lasykar Islam lainnya. Ikut pula beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa seperti KAMMI, HMI, PII, HAMMAS, GP Ansor serta Banser.
Perlawanan dari ormas Islam terhadap aktifitas pelacuran memang tidak ada hentinya, mereka masih dianggap pembawa kemaksiatan oleh orang-orang yang keras terhadap kegitan mereka. Kegiatan-kegiatan mereka selalu dipantau oleh ormas-ormas Islam yang suatu saat siap mencekal atau bahkan membubarkan mereka. Inilah bentuk-bentuk perlawanan ormas Islam terhadap aktifitas pelacuran di Surakarta. Mereka tidak bisa menerima keberadaan aktifitas tersebut. Rata-rata bentuk dari perlawanan mereka dengan penyerangan dan kekerasan. Memang tidak ada perlawanan, karena bagi mereka melawan berarti hancur sehingga setiap terjadi penggerebekan atau perlawanan mereka selalu lari dan menghindarinya.
Aksi anarkis yang dilakukan ormas-ormas islam yang ada di Surakarta didasarkan atas fundamentalisme Islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, fundamentalisme ini diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap krisis bangsa. Mereka hendak melaksanakan syariat Islam secara kafah dengan pendekatan tafsir literal atas Al Quran. Pelaksanaan syariat Islam ini termasuk hukum rajam bagi segala bentuk perzinahan. Mereka juga mengusung pandangan teosentris Islam yang tanpa batas dengan menolak ide tentang manusia sebagai jiwa yang bebas untuk menentukan diri sendiri. Sebab itu, mereka membutuhkan wilayah kekuasaan yang dibayangkan sebagai tempat implementasi hukum syariat. Akan tetapi, mereka menolak Daulah Qaumiyah (sistem negara-bangsa), serta menginginkan Daulah Islamiyah (negara Islam) sesuai dengan interpretasi mereka. Karena itu, mereka terpincu untuk melakukan purifikasi secara radikal dalam segala hal, termasuk terhadap apa yang disebut penyakit sosial. Dengan semangat jihad fi sabilillah, mereka mengibarkan bendera perang terhadap segala bentuk maksiat dengan tindakan radikal seperti mengobrak-abrik tempat-tempat hiburan atau malah membunuh pelacur, seperti kasus di Irak. Suatu tindakan yang dituding oleh sebagian Muslim lain sebagai anti demokrasi serta kepicikan (jumud) terhadap konsep rahmatan lil `alamin dalam Islam.
Kegiatan ormas-ormas Islam yang dilakukan ini merupakan salah satu akibat dari tidak berfungsinya kebijakan-kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah kota Surakata, dalam hal ini adalah fungsi dan efektifitas Peratuan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan seperti apa yang menjadi tujuan Perda itu sendiri yaitu pemberantasan dan pencegahan penyebarluasan pelacuran di wilayah kota Surakarta. Hal ini pulalah yang mendorong pemerintah kota Surakarta untuk melakukan sebuah evaluasi terhadap kebijakan tentang penanganan permasalahan pelacuran di Surakarta seperti apa yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila.
Gerakan massa yang dilakukan oleh sebagian ormas-ormas Islam yang ada di Surakarta merupakan faktor pendorong eksternal bagi pemerintah kota Surakarta untuk melakukan sebuah evaluasi kebijakan terhadap peraturan yang sudah ada. Adapun yang menjadi faktor internalnya adalah efektifitas perda itu sendiri yang dalam pelaksanaannya kurang mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota masyarakat, indikasinya pelacuran tetap saja marak dimana lokasi-lokasi yang menjadi tempat pelacuran tetap saja ramai. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini bisa dilihat dari sanksi yang diberikan dalam peraturan tersebut, dimana pelanggaran-pelanggaran dari apa yang dimaksud dalam tujuan Perda Nomor 1 Tahun 1975 untuk mengurangi dan memberantas aktifitas pelacuran yang ada di kota Surakarta akan dijatuhi sanksi kurungan selama enam bulan atau denda sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
Perubahan kebijakan boleh dikatakan merupakan konsep terbaru yang dikembangkan dan kemudian dimasukkan dalam siklus kebijakan. Konsep ini mencakup berbagai tahapan dari siklus kebijakan seperti perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan terminasi atau pengakhiran kebijakan.
Sebagai suatu proses analitik, konsep perubahan kebijakan itu harus mengacu pada titik tertentu dimana kebijakan itu seharusnya dievaluasi dan dirancang bangun atau dideasin kembali. Walhasil, dengan perubahan kebijakan itu keseluruhan proses kebijakan lantas menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Terminasi kebijakan (Policy Termination) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan cara mengakhiri kebijakan-kebijakan yang telah kadaluarsa atau kinerjanya dianggap tidak lagi memadai. Beberapa program tertentu mungkin diketahui memang tidak jalan dan karena itu perlu segera dihapus, sementara beberapa program lainnya terlantar atau jalannya tersendat-sendat dan kinerjanya merosot lantaran kekurangan sumberdaya (biaya) atau ternyata dianggap tidak rasional dan hanya memenuhi ambisi politik tertentu.
Istilah terminasi kebijakan itu pada dasarnya mengacu pada titik akhir dari siklus sebuah kebijakan publik. Sama halnya dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 harus selalu dievaluasi kinerjanya dan apabila dirasa sudah tidak sesuai karena kinerjanya dianggap tidak lagi memadai maka perlu dibuat Peraturan Daerah yang baru. Langkah yang diambil oleh pemerintah kota Surakarta untuk memperbaharui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 dan Memperbaharuinya dengan Peraturan Daeran Nomor 3 Tahun 2006 merupakan langkah yang tepat. Pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial hendaknya dilakukan penyebarluasan kebijakan publik baru tersebut kepada warga masyarakat agar dalam pelaksanaannya lebih efektif dan tidak mengalami kegagalan-kegagalan yang sama dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, tingkat sebuah keberhasilan dan efektifnya kebijakan mengenai permasalahan pelacuran yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak hanya harus didukung sepenuhnya pihak-pihak yang terkait melainkan juga peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam menanggulangi permasalahan pelacuran itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar