Senin, 16 Januari 2012

PMI Berau Temukan 2 Kantong Darah Terinfeksi HIV/AIDS 2011

TANJUNG REDEB – Sebanyak 2 ribuan pendonor darah yang tercatat di Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Berau, selama kurun waktu 2011, terdapat sebanyak 50 kantong darah terinfeksi bibit penyakit. Dibanding 2010 silam, dalam hitungan Mei hingga Desember 2010, terdapat sebanyak 27 kantong darah yang terinfeksi penyakit. Hal itu disampaikan Kepala Cabang PMI Berau, Said Amri, ketika ditemui (13/1) kemarin.
Dikatakan, dari 50 kantong darah tersebut, terdapat 2 kantong yang diduga terinfeksi virus HIV/AIDS.
Menurut dia, peningkatan jumlah darah yang terkena bibit penyakit memang naik secara keseluruhan. Bukan hanya Virus HIV/AIDS, tapi juga terdapat 28 kantong terkena penyakit Hepatitis B. Sisanya sebanyak 17 kantong terinfeksi Hepatitis C dan 3 lainnya terkena penyakit Sipilis, katanya.
Secara umum produksi darah di PMI Cabang Berau dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini tidak lepas dari kerja sama PMI dengan instansi-instansi yang ada di Berau, baik itu Swasta maupun Negeri. Tercatat selama 2011 terdapat kegiatan donor darah massal sebanyak 31 kali. “PMI tidak pernah kehabisan stok darah, justru malah sejumlah kantong darah harus dimusnahkan karena kadeluarsa, dimana, masa pemakaian darah hanya sebatas 30 hari saja.
Demi keselamatan bersama dan agar tidak menyebarkan benih penyakit, 50 kantong darah yang diduga mengandung bibit penyakit, juga telah dimusnahkan, “Untuk HIV/AIDS dulu pernah dikirim ke laboratorium di Samarinda guna pemeriksaan lebih lanjut, tapi sekarang cukup dengan Rappid test dan apabila positif akan segera dimusnahkan,” katanya.
Terkait temuan PMI Berau mengenai kantong darah yang diindikasikan terjangkit virus HIV/AIDS telah dilaporkan ke pihak Dinas Kesehatan Berau.”Sampai saat ini kami masih menunggu aksi dari dinas kesehatan terkait temuan petugas kami, dan selama ini belum ada tindaklanjutnya,” ungkapnya.
Dia berharap, segera ada tindakan nyata untuk menanggulangi penyebarannya, karena ini bukan masalah yang sepele, tetapi diperlukan penanganan khusus dan berkelanjutan. “Jangan sampai sudah jadi pandemi, baru kelabakan bagaimana cara mengatasinya,” tegasnya.

menembus batas!!!

Ketika dilahirkan kita tidak bisa memilih seperti apa kita akan dilahirkan, semua sudah merupakan garisan dari Yang Maha Kuasa. Terlahir dengan keterbatasan bukan suatu penghalang untuk meraih prestasi.
Para atlet berkebutuhan khusus yang tergabung dalam Kontingen Special Olympics Indonesia (SOIna) Kabupaten Berau mampu membuktikan, dengan segala keterbatasaannya, mereka mampu meraih prestasi selayak orang normal lainnya. Lebih membanggakan lagi, prestasi ini tidak hanya mengharumkan nama Berau tapi juga nama Indonesia di kawasan Borneo.
Event dengan tajuk 5st Special Olympics Borneo Cup Football Tournament 2011 yang berlangsung di Brunei Darussalam 1 - 4 Desember 2011 menjadi ajang pembuktian bagi kontingen SOIna asal Bumi Batiwakkal, karena dalam kejuaraan ini berhasil keluar sebagai juara.
Tournament ini diperuntukkan bagi atlet berkebutuhan khusus yang berada di kawasan pulau Kalimantan. Ajang yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali, diikuti 8 tim yang berasal dari 3 negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai tuan rumah pada kejuaraan kali ini.
Menurut Mursalim, staff Dinas Pendidikan Berau yang ikut rombongan menjelaskan, 8 tim yang berlaga di kejuaraan ini terdiri dari 3 tim tuan rumah yang terbagi dalam Brunei A, B dan C, tim selanjutnya berasal dari Malaysia yang diwakili oleh tim dari kota sabah dan Serawak. Indonesia mengirimkan 3 kontingen yang berasal dari Berau, Bontang dan juga Tarakan.
“Kontingen SOIna Kabupaten Berau, berjumlah 14 orang yang terdiri dari 8 orang atlet serta 6 offisial,” ujarnya. Adapun rombongan atlet tersebut antara lain, Arianto, Zakaria (kapten tim), Abdul Wahid, Juldika Saputra, Randy Pranata, Tri Hariyanto, Tegar fandi dan Ricky Dwi Agung. Gelaran pertandingan berlangsung di stadion Hasanah Bolkiah, dengan menggunakan format pertandingan yang mengadopsi dari permainan futsal. Adapun durasi permainan berlangsung selama 2 X 10 menit serta masa istirahat 5 menit.
Dia menceritakan, perjalanan untuk menjadi yang terbaik, dimulai pada fase divisioning. Di fase ini SOIna Berau bertemu tim kuat Brunei A. Sebagai tuan rumah, otomatis Brunei A menjadi favorit juara pada kejuaraan kali ini. “Pertandingan ini kita imbang dari tim Brunei A dengan skor sama kuat 1-1,” ungkapnya.
Fase divisioning guna penentuan grup tidak hanya ditentukan melalui hasil akhir pertandingan, namun dari sisi teknik dan permainan juga sangat berpengaruh. Oleh panitia, SOIna Berau berada di pool B bersama dengan tim Brunei A, Serawak dan Brunei C. sementara Pool A diisi Tim Bontang, Tarakan, Brunei B dan juga Sabah.
Ardiansyah Ramli, ketua tim SOIna Berau mengatakan, tidak hanya stamina dan ketrampilan saja, strategi juga sangat berpengaruh dalam penentuan hasil pertandingan serta seberapa jauh akan melanggkah. Pada saat pertandingan di fase group, SOIna Berau kembali bertemu dengan Brunei A, tidak seperti pertandingan sebelumnya, dipertandingan ini Berau dipermak dengan skor menyakinkan 4 gol tanpa balas.
“tidak masalah kita kalah dari Brunei A, masih ada dua pertandingan dan kita bisa memenangkannya kita aman ke semi final,” ungkapnya setelah pertandingan melawan Brunei A. lecutan motivasi dan semangat ingin membuktikan yang terbaik, membuat tim SOIna Berau tampil sangat garang dan menunjukan sinyalemen kepada lawan, bahwa mereka pantas untuk menjadi juara di kejuaraan ini.
Partai selanjutnya, tim mulai unjuk kekuatan. Pertandingan yang mempertemukan dengan tim Sabah Brunei C berhasil memenangkan pertandingan dengan skor menyakinkan yaitu 12 gol berbanding nol. Kemenangan ini semakin memupuk mental dan harapan tim untuk tetap bisa berada di jalur juara pada kejuaraan tersebut.
Pertandingan terakhir di putaran group mempertemukan Berau dengan Brunei C. Partai ini sangat krusial dan menentukan lolos tidaknya tim ke fase berikutnya. Beban untuk menang bukan menjadi suatu masalah, karena tim Brunei C berhasil disisihkan dan maju ke babak selanjutnya. Pertandingan ini sendiri dimenangkan tim Berau dengan skor menyakinkan dengan 6 kali membobol gawang lawan tanpa bisa kemasukan sama sekali.
Lolos dari putaran grup sebagai runner up, di semi final sudah ditunggu tim kuat asal Malaysia, yaitu Serawak, dipertandingan ini berhasil dimenangkan Berau dengan skor tipis 1-0. Pada Partai puncak kembali untuk ketiga kalinya di kejuaraan ini bertemu dengan tim Brunei A.
Mursalim menuturkan, pada partai puncak sebenarnya tim sudah pasrah serta tidak menargetkan untuk menang dan hanya mengandalkan do’a. “Statistik pada pertandingan final, diibaratkan 80 persen untuk Brunei, sisanya untuk tim Berau,” ujarnya. Selain itu, masalah bertambah karena dari sisi fisik dan tingkah laku, pemain Brunei seperti orang normal. Kecurigaan ini bertambah kuat, ketika pada saat tes kesehatan, tim Brunei A melakukan sendiri tanpa ada tim lain yang tahu.
Permainan sendiri berjalan tidak seimbang, karena bola sepenuhnya dikuasai tim Brunei. Peluang demi peluang berhasil mereka buat, namun kecemerlangan kiper berhasil mementahkan semua peluang yang ada. Bedanya, satu-satunya peluang yang dimiliki tim Berau berhasil dikonversi menjadi gol, yakni lewat skenario tendangan sudut.
Ia menambahkan, partai final yang berjalan berat, dimana stamina anak-anak sudah terkuras, karena harus bertanding selama empat hari berturut-turut. Hal ini ditambah lagi kepemimpinan wasit yang agak berat sebelah. “Selain kita mendapat kartu merah diakhir pertandingan, penambahan waktu bermain juga berlebihan,” katanya.
Gol semata wayang yang dicetak oleh Tri Hariyanto ini memupus ambisi tuan rumah untuk menjadi yang terbaik. Raihan gelar ini, seakan menjadi pelepas dahaga bagi persepakbolaan Berau yang selama ini miskin prestasi.
Selain berhasil mempertahankan gelar Special Olympics Borneo Cup Football Tournament 2011 yang sebelumnya pernah diraih pada 2009, ketika menjadi tuan rumah. Torehan trofi lainnya yang berhasil diraih adalah juara I Kejuaraan Nasional SOIna di Ragunan (2010) dan juara I Kejuaraan Inter-city Cup Asia-Africa di Timor-timur (2010).
“Hal terpenting bukan raihan prestasi, tetapi lebih pada semangat dan tingkat kepercayaan diri pada anak-anak berkebutuhan khusus ini semakin bertambah, karena mereka bisa memberikan sebuah kebanggaan sehingga tidak hanya dipandang sebelah mata,” imbuhnya.
Senada juga diungkapkan, Ardani, kakak dari zakaria, bahwa prestasi dari zakaria membuat keluarga bangga. Ia tidak menyangka adiknya berhasil mewakili Indonesia di Special Olympics di Yunani 2011 yang lalu. “Setelah apa yang diraih Zakaria, kepercayaan diri dan semangat hidupnya meningkat. Selain itu, ia sekarang lebih giat dalam berlatih sepak bola,” tegasnya. (*/dvd)

Minggu, 18 Desember 2011

museum Batiwakkal, peninggalan kerajaan Gunung Tabur

Batiwakkal , merupakan museum sejarah peninggalan kerajaan Gunung Tabur yang terletak di Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau. Musaeum yang diresmikan pada 1992 ini terbagi menjadi 6 ruangan dan digunakan untuk menyimpan koleksi peninggalan kerajaan yang berjumlah sekitar 549 buah.
Sejarah mencatat, awal mula berdirinya Kerajaan Gunung Tabur berawal pada masa kepemimpinaan raja Berau ke 9 yaitu Aji Dilayas yang memiliki 2 permaisuri dan dari keduanya ia dikaruniai 2 orang anak. Dualisme kepimpinan muncul setelah raja Aji Dilayas meninggal dunia karena kedua putranya, yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati mengklaim sebagai pengganti raja yang telah wafat.
Menurut Aji Suahidi selaku kepala museum, untuk mengakhiri konflik dualisme kepemimpinan maka diadakan musyawarah sebagai jalan keluarnya. Wilayah Berau dibagi menjadi 2 wilayah. Pangeran tua menguasai daerah sebelah selatan sungai Kuran menuju hulu sampai wilayah kelai (Cikal bakal wilayah kerajaan Sambaliung) sedangkan Pangeran Dipati mendapat jatah di sebelah utara sungai Kuran menuju hulu sampai wilayah sungai Segah (cikal bakal kerajaan Gunung tabur). Dimana kedua pangeran beserta keturunannya silih berganti menjadi pemimpin di berau. Akhirnya di tahun 1800 keturunan Pangeran Dipati yaitu Muhammad Badaruddin melepaskan diri dari kerajaan Berau dan mendirikan kerajaan Gunung Tabur.
“Pada masa perang dunia II, istana kerajaan Gunung Tabur dibom oleh sekutu, karena peristiwa itu pulalah kami harus tinggal dan menetap untuk sementara waktu dirumah penduduk” ujar Aji Kenik Berau (AKB) Sanipah ketika ditemui di rumah peristirahatannya, di samping museum Batiwakkal.
Sebagai cagar budaya peninggalan masa lalu, kerajaan Gunung Tabur merupakan salah satu identitas dari Kabupaten Berau, maka diperlukan peran serta dari Pemerintah Daerah. Tercatat baru sekitar 600an pengunjung setiap bulannya dan ketika musim libur tiba terjadi peningkatan menjadi sekitar 1000 pengunjung.
Pariwisata berau tidak hanya mengandalkan sektor keindahan alam semata karena terdapat juga sektor wisata yang memiliki nilai sejarah, budaya dan peradaban yang tinggi.
Disinilah diperlukan peranan yang lebih dari pemerintah Daerah. Selain dalam pemeliharaannya, pemerintah seharusnya lebih menggalakan gerakan “Sadar Museum”, karena lewat museumlah kita bisa melihat dan mengenal apa yang terjadi di wilayah Berau dimasa lalu.
Sebagai bangsa yang besar harus bisa menghargai sejarahnya. Sejarah sebagai identitas bangsa, sejarah sebagai kisah perjuangan bangsa. Oleh Karena itu, dari peristiwa sejarah kita bisa memetik manfaat dan pelajaran untuk melangkah kedepan dengan lebih baik lagi.

Jumat, 25 November 2011

langkah nyata yang kreatif dan inovatif

maaf ini bukan tulisan sendiri, ini sebuah plagiat untuk sebuah inspirasi!!!

Sering kali saya membaca sebuah Pertanyaan,” mengapa indonesia sebagai salah satu negara terbesar,namun masih tertinggal oleh negara Lain,baik segi ekonomi,pendidikan,dan segi kehidupan lainnya?”,dalam Pikir saya sering menjawab,”mungkin Karena SDM nya sendiri yang kurang memadai atau tidak Berkualitas ”.Ya,Jawaban dari otak saya Memang Sangat Meremehkan atau meragukan,Hal ini juga adalah sebagai cerminan dari keadaan diri saya sendiri,Dimana saya merasa tak bisa berbuat apa-apa sebagai anak bangsa,tak mampu memeberikan yang terbaik untuk negeri sendiri,bahkan untuk diri pribadipun terasa sulit Berkembang.Apa sebenarnya yang terjadi adalah Permasalahan pada diri sendiri yang tak mau berusaha,mencoba dan berani berbuat.
Selalu Berpikir Takut akan hasil yang gagal,meski Kita sadar betul kegagalan untuk mencapai sesuatu adalah hal yang wajar dan manusiawi,tapi sering kali kita menjumpai kata putus asa,berkurangnya semangat untuk mencoba kembali atas apa yang telah kita buat lalu gagal.so,jangan pernah lelah untuk mencoba lagi.
Apa yang harus kita lakukan,apa solusi yang terbaik..?apa kita harus menunggu,dan diam saja,apa kita mau terus dikatakan Negara tertinggal oleh negara lain,apa kita harus terus berkata SDM dinegara kita belum memadai…?itu mungkin sederet pertanyaan yang terus berkecamuk dalam pikir,dan tentu saja hal itu tidak akan memberikan dampak yang baik untuk kemajuan diri sendiri khususnya.

Jika kita berharap kepada pemerintah terus,saya rasa tidak akan ada dorongan yang membuat kita semangat,melainkan timbulnya alasan-alasan yang kita buat sendiri untuk meragukan kemampuan bangsa ini.
Sadar atau tidak,sudah banyak gambaran yang seharusnya kita contoh baik didalam negeri maupun diluar negeri.Mereka berani berinovasi,Mereka mampu berbuat meski itu hanya sebatas kecil,namun hal itu sangat besar bila dibandingan dengan saya atau anda yang
belum berbuat apa-apa.oleh karena itu,saya selalu merasa,betapa saya harus lebih banyak menerima,mencari dan belajar.
Hilangkan sejenak pikiran kepada permasalahan yang ada,hilangkan alasan-alasan yang membuat kita ragu,Lupakan kebiasaan kita yang hanya bisa menghakimi tanpa memberi solusi atau memberikan suatu karya.Mulai berhenti memikirkan orang lain yang berbuat salah menurut kita dan belum tentu menurut orang lain salah.sekali lagi,mari kita lihat dibawah ini adalah gambaran orang-orang yang sudah melakukannya,dari berbagai bidang tentunya.saya rasa tidak sedikit yang belum tahu dari kita,bahwa anak bangsa mampu menghasilkan inovasi-inovasi yang menarik yang membuat kagum di tingkat nasional atau dunia internasonal.
Saya bisa bilang bahwa mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kreatifitas dan mimpi mereka.Ini adalah hal yang perlu kita hargai,bahkan menjadi inspirasi bagi kita,mereka sudah melakukan banyak hal yang bermanfaat dangan inovasi nya.Anak negeri yang mampu memberikan yang terbaik tanpa meragukan bisa atau tidak bisanya negeri ini dan mereka sendiri berbicara banyak di dunia internasional.

Selasa, 22 November 2011

kita terlalu individual dan bukan sebagai sebuah tim

kekalahan di final cabang sepak bola dalam Sea Games 2011 menambah panjang lagi puasa akan gelar bagi timnas Indonesia. ya sudah kiranya kita merindukan prestasi yang selama ini begitu miskin prestasi dari cabang sepak bola. terakhir kali kita mendapatkan medali mas cari cabang sepak bola yaitu 20 tahun yang lalu yaitu Sea Games tahun 1991.

tapi apa daya di final yang mempertemukan antara Indonesia melawan Malaysia berlangsung klimaks. setelah melewati 2 x 45 menit serta babak perpanjangan waktu dan adu tendangan pinalti akhirnya timnas Indonesia harus tertunduk lesu dan harus merelakan medali mas jatuh ke tentangga kita yaitu Malaysia.

sekali lagi kita kita telah dipecundangi oleh Malaysia, setelah sebelmunya di final Piala AFF kita kalah agregat 2 - 4 dengan harimau malaya. ya pertemuan dnegan malaysia merupakan suatu gensi tersendiri penuh dengan nuansa emosional serta nasionalisme,walaupun secara geografis kita berdekatan tapi tidak jarang kita terlibat gesekan-gesekan sosial, politik dan juga budaya sejak jaman Bung Karno dengan slogan "GANYANG MALAYSIANYA"

tapi apa daya kita harus mengakui dengan jujur jika organisasi permainan malaysia lebih baik dan bermain sebagai sebuah tim yang merupakan satu kesatuan. mungkin secara indvidu kita lebih unggul. hal ini bisa kita lihat di trio papua yang ada di Timnas U23 yaitu Wanggai, bonai serta Okto. tapi apakah dalam permainan sepak bola cukup hanya mengandalkan teknik individu saja. padahal sepak bola merupakan permainan sebuah tim dan bukan permainan individual.

sangat jelas sekali bagaimana Indonesia belum memainkan permainan sepak bola dengan baik dengan benar. Maksudnya dengan pakem sepakbola yang semestinya. Bagaimana cara mengumpan yang benar dan mengurangi kesalahan elementer dalam permainan sepak bola. Bagaimana cara bertahan man to man dan zonal. Bagaimana pemain harus selalu berada di titik tertentu dalam situasi kehilangan bola. Bagaimana bergerak seirama saat kawannya tengah menguasai bola. Bagaimana pemain harus menjaga jarak dengan temannya tidak lebih dari 5 meter. Bagaimana berusaha merebut bola dari lawan, bagaimana membayangi lawan dan bagaimana-bagaimana lainnya.

Pendeknya, banyak pemain Indonesia yang belum paham bagaimana organisasi permainan sepakbola dijalankan. Padahal itu sangat mendasar. Karena setelah itu baru masuk dalam pembicaraan tahap lanjutan seperti skill individu, penggemblengan fisik, taktik dan strategi. Bermain sepakbola yang katanya simpel itu bukan hanya soal menendang, menyundul dan berlari.

kekalahan dari Malaysia seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga karena permainan sepak bola tidak hanya mengandalkan teknik individu saja tapi juga membutuhkan kolektivitas kerjasama tim.

Selasa, 30 November 2010

Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Dalam Penanganan Permasalahan Pelacuran Di Kota Surakarta

Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Solo dilihat dari kesatuan geografis, sosial, ekonomi dan kultural tidak bisa dilepaskan dari kawasan penyangga yang terdiri dari Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Sragen dan Karanganyar. Kota Solo merupakan titik tengah dari daerah-daerah disekitarnya sealigus merupakan kawasan strategis serta pusat kegiatan dalam lingkup regional Jawa Tengah dan nasional. Posisi ini selain berpotensi untuk peningkatan dan akselerasi pembangunan kota juga berpoensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota lainnya.
Salah satu permaslahan yang lazim muncul yang mengiringi perkembangan sebuah kota adalah keberadan perempuan yang dilacurkan atau yang sering disebut Wanita Tuna Susial (PSK) dan perdagangan orang untuk tujuan seksual. Permasalahan pelacuran yang secara politis dan regulatif telah dilarang dengan Peraturan Daerah, namun pada kenyataannya di lapangan PSK masih melakukan prakteknya. Sejalan dengan prioritas penanganan permasalahan kota, maka permasalahan sosial menjadi salah satu prioritas penanganan. Sesuai dengan karakter permasalahan yang multi dimensional, lintas sektor dan ruang, maka penanganan PSK dalam tantaran konsep dan operasional (anggaran) akan dilakukan secara komprehensip, lintas sektor dan proposional. Model penanganan ini diharapkan permasalahan di kota Surakarta dapat direduksi pada tingakatan seminimal mungkin, berkesinambungan dan berkelanjutan. Ide dasar munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial di kota Surakarta merupakan penyempurnaan dan tindak lanjut dari SK Walikota Suraarta Nomor 462/78/1/2006 Tentang Rencana Aksi kota (RAK) penghapusan Eksploitasi seks komersial anak (ESKA) kota Surakarta dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila yang sudah tidak efektif lagi berlaku karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Pelaksanaan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penaggulangan Eksploitasi Seksual Komersial. Diantaranya bertujuan untuk mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial, melindungi dan merehabilitasi korban eksploitasi seksual serta menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam penanganan permasalahan pekerja seks komersial di kota Surakarta, Pemkot Surakarta bertanggung jawab untuk menciptakan suasana yang aman, nyaman, tenteram dan tertib dalam masyarkat.
Selain itu, dalam penanganannya Pemkot bertanggung jawab memberikan bantuan yaitu berupa pembinaan dan bimbingan serta rehabilitasi pekerja seks komersial yang bertujuan agar mereka tidak terjun ke dunia pelacuran lagi. Selanjutnya untuk mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan eksploitasi seksual komersial pemkot menunjuk Dinas Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB) terutama Unit Kerja Teknis Bidang Sosial sebagai pelaksana dan bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2006.
Unit Kerja Teknis Bidang Sosial kota Surakarta dalam penanganan permasalahan pelacuran memiliki peranan antara lain melakukan razia pekerja seks komersial, melakukan rehabilitasi dan memberikan rangsangan kepada para pekerja seks komersial tersebut untuk kembali ke masyarakat dengan memberikan bantuan mdal untuk berusaha dan tidak lagi menjajakan dirinya lagi. Dalam pelaksanaan razia Dinas Sosial bekerja sama dengan berbagai instansi seperti Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) dan Poltabes Surakarta. Setiap instansi memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, Dinas Sosial selaku penanggung jawab operasi, Satpol PP selaku pelaksanan operasi dan kepolisian sebagai mitra Satpol PP dalam melakukan razia sedangkan Dinas Kesehatan sendiri bertugas untuk mencari dan mendata Pekerja Seks Komersial yang terjangkit penyakit menular seksual (PMS).
Wilayah-wilayah yang sering dijadikan target razia antara lain: kawasan RRI, Monumen Perjuangan 45 Banjarsari, Terminal Tirtonadi, Gilingan dan alun-alun kidul. Dalam operasi sering sekali terjadi kebocoran-kebocoran informasi sehingga ketika diadakan razia ke tempat-tempat tersebut sering sekali sepi aktifitas. Dalam pelaksanaan razia pekerja seks komersial dilakukan sebanyak 10 kali dalam satu tahun atau lebih tergantung dari anggaran yang diberikan oleh Pemkot Surakarta, serta bila mungkin ada bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maka frekuensi untuk melakukan Razia tersebut dapat ditambah.
Tingginya intesitas razia bertujuan untuk menciptakan suasana yang tertib dan aman di wilayah Surakarta. Dalam penanganan hasil razia ini sendiri juga memerlukan mekanisme tersendiri yang dapat dijelaskan sebagai berikut, dimana PSK yang terjaring dalam razia dikumpulkan di Poltabes Surakarta setelah itu dilakukan identifikasi dan diadministrasi dengan tertib, pengidentifikasian dilakukan oleh tim pelaksana yang kemudian dilakukan pengambilan keputusan dari hasil pemeriksaan terebut dengan cara sebagai berikut:
1. Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang baru pertama kali terkena razia dapat diambil 2 tindakan dengan:
a. Membuat Surat Pernyataan yang isinya tidak akan mengulangi kembali kegiatan tersebut.
b. Dipulangkan ke daerah asal atau dikembalikan kepada keluarga untuk mendapatkan pembinaan dari keluarga.
2. Bagi pekerja seks komersial (PSK) yang lebih dari satu kali terjaring razia dapat diambil tindakan diantaranya:
a. Diserahkan ke Panti Karya Wanita “Wanita Utama” untuk mendapatkan pendidikan ketrampilan selama 6 bulan.
b. Diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk diproses melalui Pengadilan Negeri.
3. Bilamana ada kekeliruan dalam penjaringan / permohonan pelepasan dari keluarga yang terkena razia lebih dari 1 kali, harus melalui proses:
a. Dari pihak keluarga mengajukan permohonan secara tertulis kepada tim dengan disertai bukti-bukti pendukung antara lain Kartu Keluarga (KK), Fotocopy Surat Nikah dan mengisi surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Tim Pelaksana yang selanjutnya dilegalisir oleh kepala desa setempat.
b. Pelepasan bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan oleh Ketua Tim Pelaksana.

Hasil razia terhadap pelaku kegiatan komersialisasi seksual di kota Surakarta dalam tahun 2006 yang dilakukan oleh Satpol PP bersama instansi terkait adalah sebagai berikut:



Tabel 9
Hasil Razia PSK di Kota Surakarta Tahun 2006

No.
Bulan
Banyaknya Razia
Jumlah PSK
Yang Terjaring
1 Maret 2006 1 kali kegiatan razia 25 orang
2 Mei 2006 2 kali kegiatan razia 49 orang
3 Agustus 2006 4 kali kegiatan razia 101 orang
4 Oktober 2006 2 kali kegiatan razia 64 orang
5 Desember 2006 6 kali kegiatan razia 136 orang
Sumber: Satpol PP Kota Surakarta 2006
Dari data di atas dapat diketahui, bahwa tingginya intensitas razia yang dilakukan di kota Surakarta tidak memberikan efek jera terhadap pelaku kegiatan pelacuran. Hal ini terbukti dari hasil yang terjaring dalam setiap kali melakukan razia dapat menjaring 20-30 pelacur serta masih saja kegiatan pelacuran di Kota Surakarta marak terjadi walaupun kegiatan razia sering kali dilakukan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial. Yang berbunyi, barang siapa karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan 5, dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Adapun unsur-unsur yang ada dalam Pasal 31 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 adalah sebagai berikut :
1) Barang siapa
2) Karena tingkah lakunya menimbulkan anggapan bahwa ia melakukan perbuatan yang dimaksud ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5
3) Sanksi pidana kurungan 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan tindakan pidana prostitusi baik dengan pasangan sejenis dan atau lawan jenis.
(2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan prostitusi anak, baik dengan pasangan sejenis dan atau lawan jenis.
(3) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara dan atau pembeli jasa dalam kegiatan dimaksud ayat 1 dan 2.
(4) Setiap orang dilarang menyediakan tempat-tempat untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dimasud dalam ayat 1 dan 2.
Sedangkan Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan perdagangan orang untuk tujuan seksual
(2) Setiap orang dilarang menjadi pengirim, penerima, perantara dan atau pembeli jasa dalam kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1.
(3) Setiap orang dilarang menyediakan temapa-tempat untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1.


Di dalam penjelasannya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelacuran dalam pasal ini adalah termasuk ajakan membujuk, memiat orang lain dengan perkataan, isyarat, tanda-tanda atau perbuatan lainnya yang maksudnya mengajak untuk melakukan kegiatan seksual anak dan atau orang dewasa, baik dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, dengan pembayaran atau imbalan dala bentuk lain. Adapun yang dimaksud dengan tempat-tempat untuk melakuan pelacuran adalah hotel, losmen, salaon, tempat-tempat hiburan, rumah kost, tempat penginapan yang lain dan rumah penduduk termasuk tempat-tempat penampungan pekerja yang ditujukan untuk kegiatan eksploitasi seksual.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tahapan dari proses kebijakan publik yang bersifat Crucial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijaksanaan, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka tujuan kebijakan tidak akan bisa diwujudkan, demikian pula sebaliknya. Bagaimanapun sebaiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau tidak dirumuskan dengan baik maka tujuan kebijakan juga tidak akan bisa diwujudkan, sehingga kalau menghendaki tujuan kebijakan dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan juga telah diantisipasi untuk dapat diimplementasikan.
Sayangnya, dalam menerjemahkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam bentuk-bentuk program dan proyek pada saat implementasinya terdapat sandungan yang sangat berat : banyak diantara kebijakan-kebijakan itu tetap saja berupa pernyataan-pernyataan simbolis dari pemimpin politik atau berupa undang-undang ataupun peraturan, sementara kebijakan lainnya yang telah dilaksanakan ternyata hasilnya tidaklah seperti yang diharapkan.
Hal ini dapat dilihat, dimana sanksi yang tegas seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 tahun 2006 ternyata tidak membuat jera pekerja seks komersial karena pada pelaksanaannya sangat jauh dari apa yang tertulis dalam Perda, dari beberapa kasus yang ada, dimana pelaku yang melakukan kegiatan prostitusi masuk dalam pelanggaran tindak pidana ringan (Tipiring) setelah melalui proses peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta hanya dijatuhi hukuman kurungan selama 10 hari dengan masa percobaan selama satu bulan serta terdakwa diharuskan mengganti biaya perkara seribu rupiah. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan hukum mengambil jalan yang lebih mudah yang penting sudah melaksanakan tugas dan kewenangannya masing-masing sedangkan hasil yang dicapai bukan mewujudkan tujuan Perda itu sendiri.
Efektifitas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 juga masih patut untuk dipertanyakkan, karena pelaksanaan Perda kurang mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota masyarakat, indikasinya pelacuran tetap saja marak dimana lokasi-lokasi yang menjadi tempat pelacuran tetap saja ramai, ketenangan masyarakat masih terganggu dengan adanya penularan penyakit mematikan, rumah tangga yang tidak harmonis.

Permasalahan Tentang Pelacuran

Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks, baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi soasial yang ditimbulkannya. Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Karena disamping disebut sebagai profesi yang tertua, jasa pelacuran pada hakekatnya tetap dicari oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Karena itu pelacuran memerlukan penanganan komprehensif dari berbagai pihak.
Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut) dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia. Walaupun prostitusi sudah ada sejak dulu, namun masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa. Namun masa jaman sekarang prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang biasa. Norma-norma sosial jelas mengharamkan prostitusi, bahkan sudah ada UU mengenai praktek prostitusi yang ditinjau dari segi Yuridis dalam KUHP yaitu mereka menyediakan sarana tempat persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggaran bagi pelacur (pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-klaki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP). Dunia kesehatan juga menunjukkan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan seperti HIV / AIDS akibat adanya pelacuran di tengah masyarakat.
Sekalipun disadari bahwa pelacuran itu tidak mungkin diberantas namun usaha-usaha penanggulangan dalam arti sekurang-kurangnya menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah pelacur dan pelacuran, pemerintah atau pemerintah daerah telah menyusun program-program kegiatan dan kebijakan-kebijaan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk penanganan dan penanggulangan terhadap permasalahan pelacuran tersebut.
Sejarah penanganan masalah pelacuran di kota Surakarta telah dilakukan sejak tahun 1953 dengan dikeluarkannya Peratuan Daerah Kota Besar Surakarta Nomor 10 tahun 1953, dikarenakan tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat itu, maka kemudian Peraturan Daerah ini diganti dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila, walaupun secara politis dan regulatif telah dilarang dengan Peraturan Daerah, namun pada kenyataannya di lapangan PSK masih melakukan prakteknya dan kegiatan eksploitasi seksual komersial di Surakarta sudah sangat memprihatinkan.
Hal ini pulalah yang melatar belakangi sebagian ormas-ormas Islam mengadakan suatu tindakan perlawanan terhadap kegiatan pelacuran komersial yang ada di kota Surakarta karena dalam ajaran agama Islam prostitusi merupakan salah satu perbuatan zina dan zina hukumnya haram dan termasuk kategori dosa besar. Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang berzina yaitu para pezina yang masih bujang di hukum cambuk delapan puluh kali (An-Nur : 4) dan “yang sudah menikah dilempari batu 100 kali, alias mati. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal darah bagi seorang muslim yang bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulnya, kecuali disebabkan oleh salah satu dari tiga hal : orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang, meninggalkan agamanya serta memisahkan dari jamaah”.
Islam secara terang-terangan mengharamkan segala perbuatan zina seperti yang terdapat dalam surat AL Israa ayat 32 : dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sejahat-jahatnya perjalanan. Surat ini menjelaskan tentang larangan untuk melakukan perbuatan zina bahkan untuk mendekatinya pun tidak diperbolehkan. Dari latar belakang itulah organisasi-organisasi massa Islam di Surakarta yang berasaskan Al Quran dan Hadist menentang segala tindakan perbuatan yang berkaitan dengan dunia pelacuran selalu mereka tindak tegas. Karena perbuatan itu tidak sesuai dengan kaidah yang mereka anut dan bertentangan dengan Islam.
Perlawanan ormas-ormas Islam dapat dilihat dalam beberapa peristiwa seperti yang terjadi pada Pada tanggal 13 Oktober 2000, sekitar 100 anggota Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo mendatangi sejumlah tempat yang dijadikan tempat penampungan pekerja seks komersial. Kedatangan mereka selain memberi peringatan keras agar tidak melakukan aktifitas lagi juga memberikan penyuluhan keagamaan dan sebagai bukti atas kedatangan Hizbullah, setiap masuk ke rumah penampungan dibuat berita acara aksi kemudian pihak pengelola penampungan diminta membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kedatangan mereka. Pembuatan berita acara ini sendiri bertujuan untuk dikirimkan ke Kapolresta, Walikota, DPRD Solo serta pihak-pihak yang berkompeten agar mengambil tindakan lebih lanjut lagi. Dalam aksinya tersebut tempat yang mereka datangi antara lain rumah di Jl. Adisucipto No 99 dan 149 serta rumah di Jl. Hasanuddin No. 62. Selain mendatangi tempat-tempat penampungan pekerja seks komersial, Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo juga mendatangi salon-salon yang diindikasikan juga melakukan kegiatan pelacuran.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Laskar Islam, kalau Corps Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonan Solo lebih pada tempat-tempat penampungan pekerja seks komersial dan salon, sedang Laskar Islam lebih kepada tempat-tempat yang sering dijadikan pelacur untuk beroperasi serta tempat-temapt hiburan malam yang ada di kota Solo. Sekitar 200 orang yang sebagian besar berseragam putih-putih bergerak dari lapangan Kartopuran dengan mengendarai sepeda motor dan satu unit mobil bak terbuka. Mereka menyusuri tempat-tempat hiburan malam serta warung remang-remang. Kawasan Gilingan, kawasan Monumen 45 dan Alun-Alun Kidul yang selama ini dikenal tempat mangkal pelacur juga menjadi sasaran aksi mereka. Para pelacur berlarian begitu datang kelompok ini. Begitu pula lokalisasi Silir juga didatangi massa.
Selain itu, Hampir semua diskotik dan kafe disambangi kelompok massa ini. Di antaranya kafe Fortuna di Jalan Bhayangkara, Diskotek Freedom di Balekambang, Diskotek Legend di Pasar Gedhe, dan lainnya. Namun kebanyakan tempat-tempat itu sudah tutup sebelum mereka tiba di lokasi untuk menghindari benturan dengan mereka. Para pengelola tempat hiburan tersebut memilih menutup tempat usahanya lebih awal sebelum kelompok ini datang. Karena beberapa hari sebelumnya, massa yang mengatasnamakan Koalisi Ummat Islam Surakarta (KUIS) pernah melakukan aktivitas yang sama. Kericuhan hampir saja terjadi antara kelompok KUIS dan masyarakat. Saat melintas di kawasan Silir, mereka melewati sekelompok warga yang sedang nongkrong di warung. Tanpa sebab yang jelas, terjadi adu mulut. Hampir saja terjadi baku hantam namun bisa dicegah setelah pemimpin KUIS meredakan emosi anggotanya. Di dalam razia ini KUIS menyita secara paksa ratusan botol minuman keras yang tersimpan dalam puluhan kardus.
Peristiwa lainnya yang kerap menimbulkan aksi ormas-ormas Islam yang ada di kota Surakarta adalah setiap menjelang bulan suci Ramadhan banyak sekali ormas-ormas Islam yang menuntut agar tempat-temapt hiburan yang ada di kota Solo ini ditutup, tercatat kurang lebih 48 ormas Islam melakukan aksi konvoi tersebut. Aksi ini diprakarsai Forum Komunikasi Antar Masjid Indonesia (Forkami) ini diikuti ribuan massa dari FPIS, Mujahidin Surakarta, Forkuis, FKAM, perguruan Silat tenaga ghaib Honggo Dremo, Brigade Hisbullah, Lasykar Jundullah serta lasykar Islam lainnya. Ikut pula beberapa organisasi pemuda dan mahasiswa seperti KAMMI, HMI, PII, HAMMAS, GP Ansor serta Banser.
Perlawanan dari ormas Islam terhadap aktifitas pelacuran memang tidak ada hentinya, mereka masih dianggap pembawa kemaksiatan oleh orang-orang yang keras terhadap kegitan mereka. Kegiatan-kegiatan mereka selalu dipantau oleh ormas-ormas Islam yang suatu saat siap mencekal atau bahkan membubarkan mereka. Inilah bentuk-bentuk perlawanan ormas Islam terhadap aktifitas pelacuran di Surakarta. Mereka tidak bisa menerima keberadaan aktifitas tersebut. Rata-rata bentuk dari perlawanan mereka dengan penyerangan dan kekerasan. Memang tidak ada perlawanan, karena bagi mereka melawan berarti hancur sehingga setiap terjadi penggerebekan atau perlawanan mereka selalu lari dan menghindarinya.
Aksi anarkis yang dilakukan ormas-ormas islam yang ada di Surakarta didasarkan atas fundamentalisme Islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, fundamentalisme ini diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap krisis bangsa. Mereka hendak melaksanakan syariat Islam secara kafah dengan pendekatan tafsir literal atas Al Quran. Pelaksanaan syariat Islam ini termasuk hukum rajam bagi segala bentuk perzinahan. Mereka juga mengusung pandangan teosentris Islam yang tanpa batas dengan menolak ide tentang manusia sebagai jiwa yang bebas untuk menentukan diri sendiri. Sebab itu, mereka membutuhkan wilayah kekuasaan yang dibayangkan sebagai tempat implementasi hukum syariat. Akan tetapi, mereka menolak Daulah Qaumiyah (sistem negara-bangsa), serta menginginkan Daulah Islamiyah (negara Islam) sesuai dengan interpretasi mereka. Karena itu, mereka terpincu untuk melakukan purifikasi secara radikal dalam segala hal, termasuk terhadap apa yang disebut penyakit sosial. Dengan semangat jihad fi sabilillah, mereka mengibarkan bendera perang terhadap segala bentuk maksiat dengan tindakan radikal seperti mengobrak-abrik tempat-tempat hiburan atau malah membunuh pelacur, seperti kasus di Irak. Suatu tindakan yang dituding oleh sebagian Muslim lain sebagai anti demokrasi serta kepicikan (jumud) terhadap konsep rahmatan lil `alamin dalam Islam.
Kegiatan ormas-ormas Islam yang dilakukan ini merupakan salah satu akibat dari tidak berfungsinya kebijakan-kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah kota Surakata, dalam hal ini adalah fungsi dan efektifitas Peratuan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 tentang Pemberantasan Tuna Susila tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan seperti apa yang menjadi tujuan Perda itu sendiri yaitu pemberantasan dan pencegahan penyebarluasan pelacuran di wilayah kota Surakarta. Hal ini pulalah yang mendorong pemerintah kota Surakarta untuk melakukan sebuah evaluasi terhadap kebijakan tentang penanganan permasalahan pelacuran di Surakarta seperti apa yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila.
Gerakan massa yang dilakukan oleh sebagian ormas-ormas Islam yang ada di Surakarta merupakan faktor pendorong eksternal bagi pemerintah kota Surakarta untuk melakukan sebuah evaluasi kebijakan terhadap peraturan yang sudah ada. Adapun yang menjadi faktor internalnya adalah efektifitas perda itu sendiri yang dalam pelaksanaannya kurang mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota masyarakat, indikasinya pelacuran tetap saja marak dimana lokasi-lokasi yang menjadi tempat pelacuran tetap saja ramai. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Pemberantasan Tuna Susila dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini bisa dilihat dari sanksi yang diberikan dalam peraturan tersebut, dimana pelanggaran-pelanggaran dari apa yang dimaksud dalam tujuan Perda Nomor 1 Tahun 1975 untuk mengurangi dan memberantas aktifitas pelacuran yang ada di kota Surakarta akan dijatuhi sanksi kurungan selama enam bulan atau denda sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
Perubahan kebijakan boleh dikatakan merupakan konsep terbaru yang dikembangkan dan kemudian dimasukkan dalam siklus kebijakan. Konsep ini mencakup berbagai tahapan dari siklus kebijakan seperti perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan terminasi atau pengakhiran kebijakan.
Sebagai suatu proses analitik, konsep perubahan kebijakan itu harus mengacu pada titik tertentu dimana kebijakan itu seharusnya dievaluasi dan dirancang bangun atau dideasin kembali. Walhasil, dengan perubahan kebijakan itu keseluruhan proses kebijakan lantas menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Terminasi kebijakan (Policy Termination) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan cara mengakhiri kebijakan-kebijakan yang telah kadaluarsa atau kinerjanya dianggap tidak lagi memadai. Beberapa program tertentu mungkin diketahui memang tidak jalan dan karena itu perlu segera dihapus, sementara beberapa program lainnya terlantar atau jalannya tersendat-sendat dan kinerjanya merosot lantaran kekurangan sumberdaya (biaya) atau ternyata dianggap tidak rasional dan hanya memenuhi ambisi politik tertentu.
Istilah terminasi kebijakan itu pada dasarnya mengacu pada titik akhir dari siklus sebuah kebijakan publik. Sama halnya dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 harus selalu dievaluasi kinerjanya dan apabila dirasa sudah tidak sesuai karena kinerjanya dianggap tidak lagi memadai maka perlu dibuat Peraturan Daerah yang baru. Langkah yang diambil oleh pemerintah kota Surakarta untuk memperbaharui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1975 dan Memperbaharuinya dengan Peraturan Daeran Nomor 3 Tahun 2006 merupakan langkah yang tepat. Pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Eksploitasi Seks Komersial hendaknya dilakukan penyebarluasan kebijakan publik baru tersebut kepada warga masyarakat agar dalam pelaksanaannya lebih efektif dan tidak mengalami kegagalan-kegagalan yang sama dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, tingkat sebuah keberhasilan dan efektifnya kebijakan mengenai permasalahan pelacuran yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak hanya harus didukung sepenuhnya pihak-pihak yang terkait melainkan juga peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam menanggulangi permasalahan pelacuran itu sendiri.