Selasa, 30 November 2010

Pelacuran Jalanan

Bisnis pelacuran mempunyai beberapa jenis tipe yang dapat dilihat dari kelas seorang pelacur dengan pelacur lainnya. Indikator yang membedakan adalah umur, penampilan busana, fisik, wajah, tinggi badan, tarif, pelayanan di kamar, kemampuan berkomunikasi, pendidikan, lokasi untuk ”bermain” seks, sarana dan prasaran berkomunikasi. Tipe pelacuran seperti inilah yang membedakan keragaman bisnis prostitusi di dalam memenuhi keinginan seksual kaum laki-laki hidung belang.
Dilihat dari cara beroperasinya, pelacuran dapat dibagi menjadi 5 tipe, antara lain:
1. Pelacuran jalanan (Street Prostitution); sering terlihat sendiri menanti tamu di pinggir jalan tertentu di waktu malam hari, dengan aktivitas dan aksesoris yang vulgar. Mereka termasuk kategori rendah, jarang sekali memperhatikan kesehatan dan banyak yang tidak teriat dengan germo.
2. Pelacuran panggilan (Call Girl Prostitution), bersikap pasif dan menunggu panggilan lewat telpon dan termasuk dalam kategori pelacur menegah ke atas.
3. Pelacuran Rumah Bordil (Borthel Prostitution) terdiri dari 3 kelompok:
a) Terpencar dan berpencar dengan rumah penduduk.
b) Terpusat di suatu tempat yang biasanya merupakan kompleks dan terdapat beberapa rumah penduduk.
c) Terdapat di daerah khusus yang letaknya agak jauh dari rumah penduduk dan penempatannya ditunjuk berdasarkan SK (Surat Keputusan) Pemerintah Daerah dan sering disebut dengan lokalisasi
4. Pelacuran Terselubung (Clandestine Prostitution) seperti misalnya dalam bar, diskotek, panti pijat, salon dan sebagainya.
5. Pelacuran Amatir (Amateur Prostitution) bersifat rahasia, dikenal orang-orang tertentu, tarif sangat tinggi dan kegiatan melacur ini hanya dijadikan pekerjaan sampingan serta mempunyai pekerjaan resmi, terkadang memiliki kedudukan terhormat seperti artis, ibu rumah tangga, pegawai, mahasiswi dan sebagainya yang dikenal luas oleh masyarakat dan mereka ini sangat selektif dalam memilih tamu.
Di kota Solo, pada tahun 1950 pelacuran telah menjamur di berbagai tempat di tengah kota. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut Pemerintah kemudian mendirikan Resosialisasi Silir. Resosialisasi Silir sudah puluhan tahun berada di kota ini sehingga pelacuran bukanlah sesuatu yang terlalu asing bagi masyarakat kota Solo, hampir semua kalangan mengetahui nama dan lokasi pelacuran, akan tetapi belum banyak yang mengetahui bahwa proses pembanguanan sebuah kota terutama kota Solo telah menambah jumlah pelacur dan berkembang berbagai jenis pelacuran yang sulit ditemui pada awal-awal pembangunan.
Penutupan resosialisasi secara resmi oleh Pemerintah Daerah Surakarta ternyata menimbulkan permasalahan sosial yang lebih besar, Para pekerja seks komersial yang tadinya beroperasi di daerah resosialisasi, kini mulai beroperasi di jalanan dan menjaring langganan di jalanan dan hal ini menyebabkan maraknya kembali pelacuran jalanan.
Selain itu, berkembangnya pelacuran jalanan disebabkan banyak aspek dan sangat kompleks. Alasan-alasan melakukan tindakan prostitusi adalah tekanan ekonomi, karena tidak puas dengan posisi yang ada, karena kebodohan, kecacatan jiwa, karena sakit hati serta tidak puas dengan kehidupan seksual. Lebih spesifik lagi, terdapat dua faktor penyebab meningkatnya pelacuran yaitu faktor penawaran dan permintaan. Penawaran dikaitkan dengan rendahnya pendidikan dan kemiskinan dikalangan wanita dan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan proporsi mereka yang sangat tinggi di hampir semua jenis pelacuran. Aspek permintaan adalah semakin baiknya kesejahteraan dan kemampuan lelaki untuk membeli pelayanan seks. Walaupun demikian, dengan adanya perbaikan sosial ekonomi tidak bisa menghilangkan praktek prostitusi, karena hal ini berkaitan dengan permintaan, kejahatan dan ekspoitasi perempuan.
Di Kota Solo pelacuran jalanan melakukan operasinya di pinggir jalan, tempat umum, pojok kota, beroperasi pada malam hari, di keremangan jalanan kota dan dibawa ke mana saja untuk melakukan hubungan seksual, misalnya ke gubuk warung, mobil atau tempat lain sesuka pelanggan. Pekerja seks jalanan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelas sesuai dengan penampilan mereka. Bagi orang-orang awam sangat sulit sekali membedakan apakah wanita-wanita tersebut berprofesi sebagai pekerja seks jalanan atau wanita biasa. Sangat sulit sekali memperkirakan berapa jumlah pelacur jalanan yang ada di kota Solo. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh SPEK-HAM terdapat lebih dari 300 PSK yang melakukan operasi di jalanan. Kesulitan dalam melakukan pendataan jumlah PSK yang beroperasi di jalanan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya;
1. Tempat operasi yang tidak menetap dan sering kali berpindah-pindah.
2. Waktu operasi yang tidak menetap.
3. Terkadang transaksi diambil jalan tengah, hal ini biasa dilakukan oleh mereka yang telah menjadi pelanggan tetap.
4. Memerlukan waktu yang relatif lama untuk memastikan mereka itu sebagai pelacur jalanan.
5. Lokasi operasi yang menyebar di penjuru kota
Lokasi pelacuran jalanan di Surakarta tersebar di berbagai tempat di sekitar sudut penjuru kota Surakarta. Maraknya pelacuran yang secara tidak langsung didukung oleh warga masyarakat sekitar. Di kecamatan Banjarsari terdapat sekitar 46 hotel yang bebas digunakan sebagai aktivitas pelacuran terselubung. Masyarakat yang bersifat permisif malah banyak yang menyewakan tempat untuk praktek pelacuran.
Tempat di wilayah Kecamatan Banjarsari yang sering digunakan untuk mangkal para pelacur di antaranya Kelurahan Kestalan yang tepatnya di wilayah sekitar RRI, Kelurahan Setabelan yaitu di sekitar Monumen Perjuangan 45, Kelurahan Manahan di sekitar stadion manahan dan kelurahan Gilingan yang berada di sekitar terminal Tirtonadi.
Kawasan RRI merupakan salah satu lokasi pelacuran jalanan. Letaknya yang berada di tengah kota sangat mudah di jangkau baik pelacur maupun masyarakat umum. Aktivitas pelacuran di sini sangat mudah dilihat dan pada umumnya mereka akan didekati tamu-tamunya serta tarifnyapun dapat ditawar, setelah persetujuan disepakati meliputi tempat untuk melakukan pekerjaannya.
Tidak jauh dari RRI juga terdapat lokasi yang karakterisrtiknya hampir sama dengan RRI yaitu sekitar Monumen Perjuangan 45, di perempatan monumen tersebut biasanya aktivitas pelacuran berada. Setelah hari gelap tidak lama kemudian mulai muncul pelacur yang mangkal untuk mendapatkan tamu. Lokasi ini semakin ramai dengan kondisi lingkungan yang tanpa penerangan sehingga kondisi ini sangat mendukung untuk dijadikan tempat prostitusi. Tidak hanya perempuan dewasa, di monumen ini juga nampak pelacuran anak yang berkelompok menanti tamu yang datang. Mereka mengenakan pakaian yang minim sehingga mengundang perhatian dan dandanan yang menyolok serta sensual.
Tempat lain yang biasa digunakan untuk aktivitas prostitusi ditemukan di sekitar terminal Tirtonadi. Pada malam hari di sebelah timur terminal dan di depan deretan toko bahan bangunan, ada beberapa pelacur yang menjajakan diri secara terbuka dan menawarkan pelayanan seksual. Tempat ini semakin marak digunakan dikarenakan letak yang strategis terlebih lagi lokasi ini merupakan akses transportasi dari dan ke terminal. Ada hal yang menarik dari lokasi di sekitar wilayah tersebut, walaupun aktivitas pelacuran mengalami peningkatan namun hal ini tidak membuat warga sekitar merasa resah dikarenakan di antara mereka telah terjalin suatu kesepakatan tidak tertulis untuk saling menjaga stabilitas keamanan.
Perilaku pelacur jalanan umumnya selalu diidentikkan dengan sikap agresif, berpenampilan mencolok, suka menegur atau menggoda laki-laki yang lewat di hadapannya dan bersedia dibawa kemana saja untuk melakukan hubungan seksual sesuka pelanggan. Perilaku tersebut tidaklah semuanya bisa mewakili ciri-ciri pelacuran jalanan di Surakarta. Secara umum mereka cenderung pasif menanti pelanggan, walaupun ada beberapa yang kelihatan agresif. Pihak laki-lakilah yang justru kelihatan agresif melakukan pendekatan, mungkin ini stretegi mereka dalam menjaring pelanggan. Mereka cenderung menyendiri dan berdiam secara berkelompok dan seakan-akan memberikan peluang untuk didekati.
Secara umum, semua pelacur tidak bisa menolak setiap orang yang mengajak berkencan. Pelanggan yang telah membokingnya merupakan lahan penghasilan yang harus dipertahankan, dengan demikian secara sungguh-sungguh ia harus tetap menunjukkan pelayanan yang memuaskan terhadap teman kencannya. Apabila ada calon teman kencan yang tidak pelacur senangi, maka mereka akan tetap melayani teman kencan tersebut hanya sebatas keinginan untuk melepaskan hasrat seksual.
Perlakuan pelacur akan jauh berbeda ketika dia diajak kencan dengan orang yang mereka senangi. Kelompok orang yang termasuk disenangi oleh pelacur adalah mereka yang masih muda dengan pakaian serta penampilan rapi. Kalangan mahasiswa merupakan orang yang paling disenangi oleh pelacur. Di antara mereka berlaku gengsi tentang pelanggan yang berasal dari kalangan mahasiswa, oleh karena itu ada simbol-simbol seksual tertentu yang diberikan kepada pelanggan yang disenangi
Perlakuan pelacur dengan simbol diservice menunjukan pelayanan ekstra yang dilakukan oleh pelacur kepada pelanggan yang disenanginya. Diservice mempunyai arti bahwa teman kencan akan diperlakukan secara istimewa. Pelayanan yang diberikan sebelum penetrasi merupakan bentuk keistimewaan pelayanan yang diberikan kepada terman kencan. Perlakuan itu termasuk memberikan rangsangan tertentu dengan berbagai teknik yang dipunyai. Oral seks biasanya merupakan perlakuan utama kepada pelanggan yang termasuk kategori diservice. Perlakuan sebelum penetrasi merupakan pelayanan kepada pelanggan yang bertujuan memberikan kepuasan yang lebih, dengan cara itu pelanggan yang bertujuan memberikan kepuasan yang lebih dan dengan cara itu pula pelanggan yang bersangkutan tidak akan meninggalkan dirinya.
Simbol-simbol seksual yang berlaku di kalangan pelacur sebenarnya menunjukan orientasi seksual yang ada pada diri setiap pelacur. Di kalangan pelacur juga berlaku penikmatan seks yang diberikan oleh para pelanggannya. Pelacur secara nyata juga menikmati hubungan seks yang dilakukan oleh pelanggan tertentu . Keperkasaan yang disimbolkan dari kalangan muda merupakan orientasi penikmatan hubungan seks yang diharapkan oleh pelacur. Oleh karena itu, perlakuan kepada pelanggan mempunyai dua konotasi seks dikalangan pelacur. Pertama, ketika pelacur diajak kencan oleh orang yang tidak disukai maka pelayanan yang diberikan hanya sebatas kontrak kerja yang disepakati. Kedua, ketika pelacur diajak kencan orang yang mereka senangi maka mereka juga akan mendapatkan suatu kepuasan tidak hanya sebagaui obyek melainkan juga subyek. Di samping dianggap sebagai pelanggan yang ingin mendapatkan kepuasan seksual, pelanggan yang mereka senangi juga dianggap sebagai subjek yang dapat memberikan kepuasan seksual kepada dirinya. Dari pelanggan jenis inilah pelacur mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Secara fisik mereka mendapatkan pemenuhan hajat seksual dilain pihak pelacur akan mendapatkan bayaran yang selalu mereka harapkan dari pelanggan.
Perlakuan senang tidak senang kepada teman kencannya ternyata lebih didasarkan pada kebutuhan pribadi dari pelacur untuk mendapatkan imbalan seks dari perilaku yang diciptakannya dari teman kencannya. Sedemikian seringnya ia memberikan pelayanan ekstra kepada teman kencan sampai dia mengalami organsme yang dianggap sebagai puncak seks yang diharapkan. Padahal organsme tidak akan terjadi apabila melayani tamu yang tidak mereka senangi. Salah satu trik yang dilakukan untuk menyenangkan dan memberikan kebanggaan dari teman kencan yang tidak mereka sukai dengan cara berpura-pura mencapai organsme.
Pelacuran jalanan ini dikategorikan sebagai pelacuran golongan rendah dari segi tempat, tarif dan paling rawan terhadap penularan PMS (Penyakit Menular Seksual) namun, bukan berarti pelanggan jenis seks ini sedikit dan hanya berasal dari masyarakat golongan bawah karena ada juga pelanggan dari kalangan menengah ke atas yang menggunakan jasa mereka.
Di Solo sendiri, walaupun peraturan anti maksiat dijalankan dan operasi pekat (penyakit masyarakat) secara teratur diadakan, operasi ini tidak mengurangi jumlah pelacuran jalanan, bila tidak gagal karena adanya kebocoran kepada pekerja seks komersial, maka dalam setiap operasi dapat menjaring sekitar 20 – 30 an orang. Penangkapan ini memang dilanjutkan ke persidangan dengan denda yang bervariasi dari Rp. 500.000 per orang subsider 14 hari kurungan sampai denda Rp. 1000.000 per orang subsider penjara 21 hari kurungan, selebihnya mereka hanya dilakukan proses pendataan dan diberi nasehat untuk tidak lagi melakukan aktivitasnya lagi.


Jumlah Hasil Razia
1 Juni 2003 1 kali kegiatan razia 26 orang
2 Mei 2004 2 kali kegiatan razia 82 orang
3 Juni 2004 3 kali kegiatan razia 55 orang
4 Oktober 2004 1 kali kegiatan razia 19 orang
5 Desember 2004 2 kali kegiatan razia 31 orang
6 Januari 2005 1 kali kegiatan razia 17 orang
Sumber: Dinas Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP-KB) 2003-2005

Operasi Pekat yang dilakukan pihak kepolisian yang bekerjasama dengan Dinas Sosial tidak berarti banyak, karena biasanya para PSK tidak beroperasi sesaat dan kemudian muncul untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Bahkan operasi pekat yang dilancarkan secara intens untuk menyembut bulan suci Ramadhan sering gagal karena informasi yang bocor, karena itu ketika dilakukan penggrebekan tempat-tempat mangkal yang biasa penuh dengan PSK tiba-tiba menjadi sepi. Disinyalir sejumlah oknum aparat keamanan justru terlibat menjadi beking dalam bisnis pelacuran jalanan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar