Rabu, 10 Februari 2010

Priyayi

Pembahsasan mengenai masalah priyayi telah dilakukan oleh para ahli baik itu dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Walaupun dalam penelitian mereka terdapat suatu perbedaan, tetapi pada umumnya yang disebut priyayi adalah kelompok sosial yang kaena tingkat pendidikannya dapat menduduki jabatan-jabatan administrasi pemerintah, baik didalam maupun diluar lingkunagan pangreh praja. Priyayi juga merupakan kelas sosial yang memiliki keyakinan dan nilai-nilai khusus dan berada diantara raja serta para bendara di satu pihak dan tiyang alit dilain pihak. Priyayi juga merupakan salah satu unsur elit yang memerintah, karena elit ini terdiri dari dua yaitu aristokrsi berdasarkan keturunan dan aristokrasi berdasarkan jabatan.
Elit pemerintahan yang terdiri atas aristokrasi berdasarkan keturunan dan aristokrasi berdasarkan jabatan. Termasuk juga dengan kedudukan priyayi dan pencalonan priyayi yang lambat laun hanya berdasarkan keturunan, berasal dari keluarga dan keturunan priyayi itu. Meski demikian, golongan priyayi tetap terbuka bagi rakyat kecil, dan kaum bangsawan makin lama makin banyak yang masuk menjadi priyayi. Rakyat kecil yang ingin masuk mejadi anggota priyayi harus melewati jalur Suwitha dan Magang. Suwitha dimulai ketika anak masih berusia dua belas tahun, dan dilaksankan dirumah kerabat yang telah menjadi priyayi tingkat tinggi. Di tempat itu suwitha harus melakukan pekerjaan baik kasar maupun yang memakai pikiran dan harus bisa menyesuaikan dengan keadaan setempat, belajar sopan santun yang berlaku dalam keluarga tempat ia mengabdi. Ia juga harus banyaj menimba macam-macam pengetahuan dan ketrampilan agar ia dapat mengenal peradaban dan kebudayaan priyayi, antara lain pengetahuan dalam bidang seni dan artistik, serta ketrampilan menunggang kuda dianggap penting untuk keperluan semacam Tunoi. Bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kerabat priyayi, biasanya menjumpai kesulitan dalam memperoleh keluarga yang digunakan untuk suwitha bagi anak mereka. Untuk menyikapi hal itu digunakanlah hubungan patron-klient untuk mencapai amaksud tersebut. Di mana para petani akan memberikan hasil pertanian kepada tuannya agar mau menerima anak mereka mengabdi kepada sang tuan tadi.
Waktu yang digunakan sang anak dalam melakukan suwitha tidak sama. Hal ini tergantung ketekunan, kerajinan, kejujuran, kesetiaan serta kemampuan sang anak yang mengabdi tersebut. Apabila masa suwitha itu berhasil dilalui dengan baik, anak mulai ke tahapan berikutnya yaitu Magang. Oleh tuannya sang anak tersbut dikirm ke salah satu bagian dalam struktur pemerintahan lokal ataupun keraton disertai surat rekomendasi yang dibuatnya, ditambah dengan surat keterangan mengenai silsilahnya. Pada umumnya penerimaan menjadi magang priyayi ini lebih mudah, jika yang bersangkutan mempunyai keluarga yang telah menjadi priyayi. Seseorang bisa dikatakan sebagai priyayi apabila ia telah diangkat menjadi Jajar atau pangkat-pangkat lain diatasnya dan mendapatkan hak untuk mengenaan berbagai macam lambang sesuai dengan kedudukannya. Di samping itu ia juga memiliki kekuasaan, kekayaan, kewibawaan. Dari jabatan awal ini maka terbukalah suatu kesempatan untuk melakukan mobilitas vertikal dan makin tinggi statusnya maka makin banyak pula peranan yang dapat dilakukannya.
Seseorang yang dapat melampaui tahapan-tahapan sebelum seseorang tersebut mendapat gelar priyayi apabila memiliki pengetahuan yang cukup dan telah berjasa banyak kepada tuannya. Pada umumnya raja atau tuan dalam memberikan penilaian lebih banyak menggunakan kriteria yang subyektif, sehingga perhatiannya hanya ditujukan kepada abdinya yang selalu dapat menyenangkan hatinya. Dengan demikian, maka hubungan antara tuan dan anak yang suwitha itu sangat pribadi, seakan-akan merupakan suatu ikatan Patron-klien yang mendalam. Terjalinnya hubungan antara keluarga priyayi dengan kerabat anak suwitha juga dikarenakan hubungan tersebut. Berbagai macam cara untuk menyatakan jalinan hubungan itu dilakukan, setidak-tidaknya kerabat anak yang suwitha itu akan menjunjung nama baik keluarga priyayi tersebut dan kerabat anak yang suwitha merasa teruntungkan, karena mereka mempunyai suatu harapan akan adanya mobilitas vertikal di dalam lingkungan kerabatnya sehingga dapat meningkatkan status sosial dan juga tingkat penghidupan yang lebih baik. Sementara itu, atas perkenan dan wewenang raja seseorang dapat langsung diterima menjadi priyayi tanpa harus melalui prosedur yang seperti telah disebutkan diatas.

Etos Kerja Priyayi
Status priyayi membuat orang menjadi terpandang dan sebisa mungkin setiap orang bisa mempertahankan kedudukan tersebut, dan apa bila seseorang kehilangan kedudukan tersebuta akan sangan terasa memalukan sekali. Selain itu, jika itu sampai terjadi akan menutup kemungkinan bagi anak dan keluarganya utnuk mendapatkan dan memasuki kelas priyayi tersebut. Alasan ini lah yang membuat parap priyayi selalu bertindak sangat hati-hati. Memperrtahankan kedudukannya dan sebisa mungkin mendapatkan kenaikkan pangkat merupakan yangsangat sulit. Selain harus menunjukan prestasi kerja yang bagus, berorientasi ke atas dan masih ada unsur-unsur lain yang perlu diperhatikan.
Di dalm kitab Nitisastra dijelaskan bahwa, orang yang mengabdi pada seseorang ternama atau mengabdi pada raja sama dengan berlayar di laut yang bergelombang besar, penuh mara bahaya. Sama juga orang yang menjilat mata keris atau mencium ular berbisa serta memeluk seekor singa. Ha ini pulalah sebagai suatu gambaran bagi seseorang priyayi untuk bisa mempertahankan kedudukannya ataupun jika seseorang tersebut ingin medapatkan sebuah kenaikan pangkat. Seoarang abdi dalem harus taat dan patuh secara mutlak kepada atasannya, lebih-lebih kepada raja jika ingin dianggap sebagai seorang abdi yang baik. Seorang priyayi harus ikhlas lahir dan batin mengikuti segala perintah dari rajanya. Ia tidak boleh ragu dan harus mantap serta wajib dan tidak pantang menyerah dalam menjalankan segala tugas yang diberikan kepadanya. Seoarang abdi dalem harus memiliki sikap Gemi, Ngastiti lan Ngati-ati. Terhadap miliki raja ia harus tidak boros, terhadap perintah raja harus memperhatikannya dengan cermat sehingga dalam menajlankan tugas tidak ada kesalahan, serta selalu berhati-hati dalam menjaga sang raja atau tuannya baik itu siang maupun malam. Seorang abdi juga diibarakan sebagai kuda, curiga dan wanita. Dari kuda yang patut dicontoh adalah sepak terjangnya; jika ia diberitahu rahasia tuannya atau raja ia harus pandai dan awas seperti curiga (keris) dan yang terakhir adalah engenai tingkah laku, sopan santun, bagaimana cara bersikap dan sebagainya harus seperti seorang wanita.
Kepercayaan dari seorang tuan atau raja kepada abdinya itu sangat diperlukan. Sebab jika kepercayaan itu telah diperoleh, keuntungan yang lain akan dperolehnya. Persaingan dengan sesama abdi dan sikap mencari keuntungan utnuk diri sendiri sebisa mungkin harus dihindari. Sifat rajin harus dimiliki oleh para abdi, sebab orang yang rajin akan banyak melihat, mendengar dan belajar. Hal ini akan membuat orang tersebut menjadi pandai. Di bagian lain disebutkan, bahwa seseorang yang mengabdi harus dapat menajuhkan diri dari hal-hal yang dapat membawa dirinya mendapatkan cacat yang besar, yaitu mengenai maslah wanita dan uang. Seoarang abdi dilarang menajdi papalang mangan tandur, maksudnya seoarng abdi tidak boleh mencintyai kekasih, istri dan keluarga tuannya dan jika ini terjadi sang abdi bisa terkena hukuman mati. Selain itu, ada tiga hal yang perlu dijauhi oleh para abdi dalem yaitu kesukaan minum-minuman yang memabukkan, berjudi dan mencuri.
Di dalam sebuah pertemuan agung, para abdi harus datang lebih awal dari pada kedatangan sang raja. Semua abdi dalem beserta prajurit wajib secara tertib menghadap di paseban pada hari-hari yang telah ditentukan, sekalipun raja pada hari itu tidak keluar dari peristirahatannya, jika di paseban seorang abdi diminta untuk mengatasisuatu permasalahan, maka ia harus bersedia melaksanakannya. Di dalam menjalankan tugas-tugasnya itu perlu diperhatikan yang tertuang dalam tata titi. Tata berarti bagus dalam bertingkah laku maupun bicara, pandai dalam menggunakan bahasa baik itu untuk golongan bawah maupun atas. Sedangkan Titi bearti memeriksa dengan cermat segala sesuatu yang akan dihadapi dan tidak akan bertindak, jika belum selesai pemeriksaannya.
Selain adanya priyayi, di dalam masyarakat keraton terdapat kelas pengiring, mereka terdiri dari tentara profesional, abdi atau pelayan rumah tangga dan pengiring pribadi. Sebagian dari mereka ikut para bangsawan tingkat atas, elit keraton dan sebagian lainnya ikut para bangsawan tingkat rendah dan para priyayi. Mereka memiliki kemampuan khusus dan pada umumnya jumlah anggota dari kelas ini lebih banyak daripada priyayi. Kedudukan mereka sangat tergantung pada tuannya, akan tetapi sering kali pendapatan mereka lebih besar daripada yang diterima golongan priyayi.
Mistisisme Politik dan Hedonisme
Priyayi dalam kehidupan sehari-hari memiliki tingkat status sosial yang tinggi, sehingga hal ini menyebabkan golongan priyayi ini harus memiliki cara pandang sendiri. Ideologi priyayi adalah mistisisme politik dan hedonisme. Mistisisme politik ditunjukan oleh simbol literer dan seremonial. Dalam buku wedhamadya yang bertujuan untuk memberikan pujian bagi raja Surakarta sebagai sautu bentuk pengabdian kepada raja. Di dalam buku ini dijelaskan tentang bagaimana ideologi politis priyayi dan juga bagaimana kepandaian seorang Paku Buwono X sebagai titisan seorang Kresna yang ahli dalam melakukan dansa-dansa orang barat.
Upacara-upacara keraton, seperti upacara perayaan penobatan, hari lahir raja dan grebeg adalah ritual politik yang partisipasi didalamnya memiliki arti yang lebih dalam daripada sekedar perayaan. Semua itu adalah ritual politik dengan tekanan yang lebih transendental. Inilah perwujudan kebenaran, bukan semata-mata tindakan penghormatan. Salah satu contoh dari tindakan ini adalah dalam upacara seba, di mana priyayi dan abdi dalem bertugas. Dalam upacara seba ini digambarkan sebagai sebuah pertapaan dan sebagai tempat untuk melakukan suatu perenungan bagi seorang abdi dalem bukanlah di luar kehidupan keraton sehari-hari, tetapi dalam paseban sementara menantikan perintah dari raja.
Perlilaku seorang priyayi sudah dibakukan dalam tata cara dan perilaku seorang priyayi. Perilaku yang baik itu termasuk kepandaian berbahasa, gerak-gerik tubuh, air muka, kemampuan berbicara dan moral yang baik. Perilaku yang menyimpang dianggap sebagai suatu dosa besar terhadap raja. Hal yang paling membanggakan bagi seorang priyayi adalah pejah wonten ing sangandamping sampeyan dalem atau mati dbawah kaki raja mempunyai nilai tersendiri dan sebagai suatu bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada seorang raja.
Di dalam sebuah upacara yang dilakukan dalam rangka pergantian gambar sunan di gedung Abipraya sekitar bulan maret 1904 yang disertai dengan adanya pasar malam. Di dalam pasar malam tersebut terdapat stan-stan yang dijaga oleh wanita cantik. Kehidupan priyayi yang memiliki status tinggi telah terjadi suatu pergeseran ke pola tingkah laku yang hedonistik yang merupakan pengaruh dari kebudayaan barat dimana lebih mementingkan kehidupan keduniawian dengan melakukan kegiatan hura-hura dan bergelimanng dengan kekayaan. Sebagai kelompok yang paling beruntung dalam masyarakat surakarta, priyayi tentunya mampu mengkonsumsi berbagai hal yang disediakan ileh budaya kota yang berkembang pada saat itu, misalnya makan mewah, bioskop, komedi stambul, sirkus, cerutu, dan lain-lainnya. Akhirnya, terdapat sebuah laporan mengenai kejahatan yang dilakukan priyayi, misalnya mengadu jago dan berjudi, walaupun peerintah Surakarta telah mengadakan pelarangan terhadap kaum priyayi. Tentu saja, dibalik keburukan-keburukan yang dimiliki seorang priyayi , terdapat juga laporan-laporan mengenai hal-hal yang baik dari priyayi. Mereka sering mendengarkan ceramah-ceramah mengenai pendidikan, kemajuan dan kondisi ekonomi rakyat Jawa.
Sering dilancarkan kritik terhadap kaum priyayi mengenai masalah tayub dan wanita. Seoarng penulis memberikan nasihat agar kaum priyayi tidak minum terlalu banyak dalam pesta, supaya mereka tidak kehilangan kendali dan mempermalukan diri sendiri. Seorang yang terhormat harus tidak memanfaatkan tayuban sebagai sarana untuk melampiaskan nafsunya terhadap perempuan, jika itu terjadi harus dilakukan diluar pesta dan bukan dilakukan didepan umum. Mengenai perkawinan poligami atau tidak penulis dengan sengit menyerang mentalitas priyayi Jawa yang disebutnya sebagai tidak terkendali, menjadi budak nafsunya, sementara libidonya menyerupai orang arab dan melebihi orang Cina tetapi dalam urusan pekerjaan dan menabung mereka tidak bisa meniru kedua bangsa tadi.

Priyayi merupakan salah satu unsur elit yang memerintah, karena elit ini terdiri dari dua yaitu aristokrsi berdasarkan keturunan dan aristokrasi berdasarkan jabatan. Termasuk juga dengan kedudukan priyayi dan pencalonan priyayi yang lambat laun hanya berdasarkan keturunan. Rakyat kecil yang ingin masuk mejadi anggota priyayi harus melewati jalur Suwitha dan Magang. Seseorang yang dapat melampaui tahapan-tahapan sebelum seseorang tersebut mendapat gelar priyayi apabila memiliki pengetahuan yang cukup dan telah berjasa banyak kepada tuannya. Dengan seseorang bisa masuk kedalam kelompok priyayi maka ada suatu harapan akan adanya mobilitas vertikal di dalam lingkungan kerabatnya sehingga dapat meningkatkan status sosial dan juga tingkat penghidupan yang lebih baik. Sementara itu, atas perkenan dan wewenang raja seseorang dapat langsung diterima menjadi priyayi
Status priyayi membuat orang menjadi terpandang dan sebisa mungkin setiap orang bisa mempertahankan kedudukan tersebut, dan apa bila seseorang kehilangan kedudukan tersebut akan terasa memalukan. Selain itu, jika itu terjadi akan menutup kemungkinan bagi anak dan keluarganya untuk memasuki kelas priyayi. Alasan ini lah yang membuat para priyayi selalu bertindak sangat hati-hati. Memperrtahankan kedudukannya dan sebisa mungkin mendapatkan kenaikkan pangkat merupakan sangat sulit. Selain harus menunjukan prestasi kerja yang bagus, berorientasi ke atas dan masih ada unsur-unsur lain yang perlu diperhatikan. Seoarang abdi dalem harus taat dan patuh kepada atasannya, lebih-lebih kepada raja jika ingin dianggap sebagai seorang abdi yang baik. Seorang priyayi harus ikhlas mengikuti segala perintah dari rajanya. Ia tidak boleh ragu dan harus mantap serta wajib dan tidak pantang menyerah dalam menjalankan segala tugas yang diberikan kepadanya.
Priyayi dalam kehidupan sehari-hari memiliki tingkat status sosial yang tinggi, sehingga hal ini menyebabkan golongan priyayi ini harus memiliki cara pandang sendiri. Ideologi priyayi adalah mistisisme politik dan hedonisme. Mistisisme politik ditunjukan oleh simbol literer dan seremonial. Masuknya kebudayaan barat kedalam kehidupan keraton membawa perubahan termasuk juga kehidupan kaum priyayi yang berorientasi ke kehidupan keduniawian dengan melakukan kegiatan berfoya-foya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar