Kamis, 04 Februari 2010

MASUKNYA TANAH DALAM LALU LINTAS PEREKONOMIAN PADA TAHUN 1870-1923

Menyewakan tanah pada masyarakat pedesaan adalah suatu hal yang biasa. Sejak dahulu masyarakat desa ( Indonesia ) telah mengenal sewa tanah, walaupun pada masa lalu sangat jarang sekali ditemukan sewa tanah. Sebelum tanam paksa dilaksanakan sewa tanah telah dicoba diterapkan oleh Raffles. Menurut Raffles, Sistem ini merupakan suatu bentuk realisasi dari gagasan kaum liberal dalam kebijakanya dalam bidang sosial dan politik di tanah jajahan yang pada akhirnya bisa merubah kehidupan masyarakat jajahan pada suatu hari nanti menuju ke arah yang lebih baik, selain itu dengan diadakannya sewa tanah akan lebih menguntungkan diantara kedua pihak yaitu pemerintah dan rakyat sendiri.
Seiring berjalannya waktu dan berubahnya suatu sistem yang ada di indonesia yang menggunakan sistem tanam paksa, timbul perubahan yang begitu mencolok dalam penggunaan tanah. Melalui undang-undang tanam paksa (Cultuur Stelsel) dimana rakyat harus menyerahkan tanah yang mereka miliki sebesar seperlima, bahkan dalam pelaksanaannya tanah yang digunakan untuk kepentingan pemerintah melebihi dari aturan yang ada pada undang-undang tanam paksa. Dengan adanya pelaksanaan dari sistem tanam paksa ini maka masyarakat untuk sementara waktu kehilangan hak atas tanahnya. Selain itu, penderitaan rakyat semakin bertambah berat dikarenakan adanya sistem tanam paksa
Dengan semakin berkembangnya liberalisme dan desakan dari para pemilik modal agar diberi keleluasaan dalam menajalankan usahanya, maka dikeluarkannya undang-undang agraria pada tahun 1870 , sehingga para pemilik modal swasta dapat ikut berperan dalam perkembangan perkebunan di Indonesia. Isi dari undang-undang agraria ini juga tidak lepas dari masalah sewa tanah. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa para investor selain memiliki modal untuk berusaha juga memerlukan tanah untuk merlakukan usahanya. Dengan adanya penjaminan dari pemerintah mengenai hak Erparcht maka para investor lebih leluasa untuk menjalankan usahanya. Dalam Grondhuur Ordonantie dijelaskan bahwa pemerintah melakukan suatu pemaksaan agar para rakyat menyewakan tanahnya kepada para investor.

Dampak tanam paksa dalam kepemilikan tanah
Tanam paksa atau yang lebih dikenal dengan Cultuur Stelsel, memberikan pengaruh yang sangat besar dalam dua hal yang pokok pada kehidupan agararis pada masyarakat jawa yaitu tenaga kerja dan masalah pertanahan. Dalam masa tanam paksa, para petani harus menyerahkan tanah untuk digunakan oleh pemerintah sebagai tempat penanaman tanaman ekspor. Tuntutan akan kebutuhan tanah dalam penanaman tanaman ekspor dilakukan melalui cara ikatan desa. Hal ini menyebabkan terjadinya pergantian pemilikan tanah maupun pergeseran letak tanah didalam masyarakat pedesaan. Pergeseran dan penguasaan tanah ini disebabkan oleh beberapa sebab, baik itu dikarenakan adanya pertukaran atau pembagian tanah-tanah untuk perataan pembagian kewajiban pengadaan tanah, maupun dikarenakan adanya perubahan kepemilikan tanah dari hak milik pribadi menjadi hak milik komunal desa.
Pertukaran tanah garapan ini kebanyakan terjadi didaerah-daerah yang tempatnya dekat dengan perkebunan tebu. Petani di sekitar daerah perkebunan dan pabrik tebu itu harus menyerahkan tanahnya untuk ditananmi tanaman tebu dan sebagai konsekuensinya, para petani itu mendapat tanah penganti sebagai tanah garapan yang tempatnya tidak berada di sekitar pabrik dan perkebunan tebu tersbut. Cara ini baik dilakukan oleh inisiatif petani sendiri maupun oleh pemerintahan kolonial. Dengan diberlakukan sistem ini banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi para penduduk, karena tidak jarang penduduk yang mendapatkan penganti lahan garapan yang letaknya jauh dari tempat kediaman mereka, sehingga hal ini menyebabkan banyak waktu dan tenaga yan gharus disediakan untuk mengerjakan lahan mereka.
Berbagai usaha yang dilakukan pemerintahan kolonial untuk meningkatkan hasil dari tanaman ekspor mengakibatkan terjadinya sebuah proses fragmentasi tanah dikalangan penduduk pedesaan. Proses fragmentasi ini dapat terjadi dikarenakan berbagai cara seperti proses jual beli, pewarisan dan juga pengaturan oleh perangkat desa setempat. Dengan adanya sistem tanam paksa ini secara tidak langsung menguatkan rasa persaudaraan antara orang-orang pedesaan dikarenakan adanya suatu perasaan senasib dan sepenanggungan. Terjadinya suatu perubahan kepemilikan tanah dari milik pribadi menjadi tanah komunal dikarenakan oleh beberapa faktor antara lain terjadinya perpindahan penduduk yang bertujuan untuk menghindari kerja, selain itu juga dikarenakan pencabutan hak milik tanah oleh pemerintahan kolonial kepada mereka yang tidak bisa memenuhi kewajiban dari pemerintahan kolonial.
Berakhirnya sistem tanam paksa ini mengakibatkan suatu perubahan dan pergerakan yang dilakukan oleh para pemilik modal asing untuk mengaambil alih perkebunan-perkebunan yang semula dikuasai oleh pemerintahan kolonial. Di Madiun, untuk mencegah terjadinya penguasaan tanah oleh para pemilik modal dan keinginan dari pemerintahan kolonial untuk mengembalikan tanah kepada hak milik perorangan ini mendapat sebuah perlawanan keras dari para priyayi dan kepala desa yang tidak mau untuk bekerja sama sehingga usaha dari pemrintahan kolonial ini mengalami suatu kegagalan. Selain itu, penyebab kegagalan lainya adalah bahwa sisitem itu telah mendarah daging sehingga sangat sulit sekali untuk mendobrak, lagipula dalam kenyataanya bahwa pajak tanah tetap tinggi, sehingga ini membuat masyarakat lebih memilih menyewakan tanahnya kepada para pemilik modal sehingga mereka tidak lagi terbebani dengan kewajiban untuk membayar pajak yang relatif tingggi .
Pembagian tanah yang tidak begitu merata pasca tanam paksa mengakibatkan munculnya suatu stratifikasi sosial dan juga ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Beberapa keluarga Sikep, mengangkat dirinya menjadi cikal-bakal atau kaum pendiri desa, dan berusaha untuk memonopoli kedudukan-kedudukan desa. Selanjutnya ada golongan pemilik halaman. Akhirnya ada suatu kelompok yang Numpang, diantara mereka yang tidak pernah hilang seluruhnya seperti kelompok Singkep. Apa yang telah terjadi hal ini dikarenakan beban-beban negara yang begitu tinggi untuk mereka tanggung, sehingga hal ini meyebabkan adanya suatu kemiskinan. Dalam masyarakat pedesaan, orang hanya membicarakan tentang orang miskin dan Tiang Cekap, yaitu mereka yang hanya memiliki sesuatu hanya cukup untuk dapat bertahan hidup dan beberapa ada yang cukup berada walaupun tidak pernah kaya. Keadaan masyarakat pedesaan khususnya jawa sekitar tahun 1880 mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 10 juta. Dalam pembagian tanah yang tidak lazim dikarenakan adanya suatu angapan bahwa tanah yang mereka miliki merupakan tanahnya partikelir sehingga dalam pembagiannya dilakukan secara turun-temurun.

Keadaan pada saat awal masuknya tanah dalam lalu laintas perekonomian
Berakhirnya tanam paksa yang mengakibatkan penderitaan dari rakyat yang sangat menderita dikarenaka adanya suatu desakan ekonomi. Di satu pihak dalam masalah sewa tanah menyebabkan penjarahan tanah oleh masyarakat yang mencoba untuk menuntuk kembali hak atas tanah mereka yang digunakan dalam tanam paksa. Dalam sewa tanah hampir keseluruhan dan terutama terjadi disektor pertanian selalu menggunakan unsur kredit dikarenakan adanya suatu anggapan yang mengatakan menyewakan tanah kepada pabrik-pabrik lebih menguntungkan karena mereka yang membutuhkan uang akan terbatu dengan ssistem ini. Sistem ini sebenarnya banyak seperti bom waktu bagi para pemilik tanah dokarenakan sistem ini berbahaya. Pemberian uang muka dalam setiap sewa tanah membuat rakyat dengan mudanya menyewakan tanahnya. Pada awal-awal sewa tanah, jangka waktu penyewaan itu selama 5 tahun. Kurangnya pengalaman masyarakat dalam lalu lintas perekonomian menyebabkan harag sewa tanah menjadi sangat murah, untuk menanggulangi semakin menurunnya harga sewa tanah maka diambil suatu tindakan utnuk mendaftarkan setiap kontrak-kontrak sewa tanah. Sewa tanah dalam bidang pertanian dan perkebunan menyebabkan terjadinya suatu persewaan tanah secara bebas. Selain itu, sudah mendarah dagingnya pemaksaan terhadap suatu hal juga berakibat, kemauan sendiri dari rakyat untuk mengadakan kontrak sewa tanah dengan para pemilik modal.
Pelaksanaan dari sewa tanah ini sedikit banyak mendapat hambatan-hambatan seperti dalam pelaksanaannya sering sekali terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pemilik modal untuk mendapatkan tanah sewaan dan dengan harga yang relatif rendah. Timbulnya suatu persaingan untuk dapat menyewa tanah milik rakyat untuk bisa disewa oleh para pemilik modal membuat suatu permasalahan tersendiri dikarenakan dengan adanya persaingan ini, maka menimbulkan harga tanah yang semakin melambung dan juga ada cara-cara curang yang dilakukan oleh pemilik modal yang memberi hadiah kepada para pamong praja agar dapat membujuk rakyat untuk menyewakan tanah milik mereka, selain itu cara-cara curang in juga untuk menekan harga sewa tanah yang [ada saat itu membumbung tinggi, sehingga hal ini bisa menekan angaran untuk sewa tanah dan dialihkan untuk menambah modal untuk menjalankan industrinya atau perkebunan yang dimiliki oleh para pemilik modal. Pendapat pemerintah sendiri tentang penyimpangan-penyimpangan ini adalah bahwa tindakan itu merupakan suatu tindakan yang bertentangan dari kebijaksanaan yang dikeluarakan oleh pemerintah dan seharusnya perjanjian itu diperoleh melalui kesepakatan dengang para pemilik tanah.

Dampak undang-undang agraria dalam masuknya tanah dalam masalah perekonomian
Setelah tanam paksa berangsur-angsur dihapuskan dan berkembangnya paham liberalisme, hal ini menyebabkan suatu angin segar bagi para pengusaha perkebunana. Sebelum tanam paksa berangsur-angsur dihapuskan, para pengusaha perkebunan ini menuntut agar diberi keleluasaan untuk menjalankan usahanya. Setelah memakan waktu yang cukup lama dalam proses tuntutan itu akhirnya membuahkan hasil, pada tahu 1870 pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang dikenal dengan Agrarische wet atau sering disebut dengan undang-undang agraria.
Dalam undang-undang agraria ini, masuknya tanah dalam lalu lintas perekonomian ini diatur dalam pasal 51 I.S., yang berisis sebagai berikut :
1. Gubernur Jendral tidak diperbolehkan menjual tanah.
2. Dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dam desa dan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
3. gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut peraturan undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah yang telah di buka oleh rakyat asli atau yang digunakan untuk pengembalaan ternak umum, ataupun yang masuk lingkungan desa untuk keperluan lain.
4. Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah hak Erpact untuk paling lama 75 tahun.
5. Gubernur Jendral menjaga jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat.
6. Gubernur Jendral tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang telah dibuka rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri atau yang masuk lingkungan desa untuk penggenbala ternak umum ataupun untuk keperluan lain, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133; dan untuk keperluan perkabunan yang diselanggarakan ata perintah atasan menerut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; segala sesuatu dengan pengganti kerugian yang layak.
7. Tanah-tanah yang dimiliki rakyat asli dapat diberikan kepada mereka itu hak Eigendom, ddisertai syarat-syarat pembatasan yang diatur dalam undang-undang dan harus tercantum dalam surat tanda Eigendom itu, yakni suatu kewajiban-kewajiban pemilik kepada negara dan desa; dan pula tentang hal menjual tanah kepada orang yang tidak masuk golongan rakyat asli.
8. persewaan tanah oleh rakyat asli kepada bukan rakyat asli diatur dalam perundang-undangan.

Dengan ditetapkannya undang-undang agraria ini, maka para pemilik modal asing memilik kesempatan yang sangat luas untuk menjalankan segala usahanya dalam bidang perkebunan. Selain itu, bagi masyarakat pribumi undang-undang in dijadikan sebagai alat untuk melindungi tanah yang merupakan hak milik mereka. Pada tingkatan lebih lanjut undang-undang agraria ini dijadikan sebagai salah satu dasar perundang-undangan mengenai masalah agraria di Indonesia.
Sebuah kenyataan yang jauh dari harapan yang selama ini menjadi tujuan dikeluarkannya undang-undang ini, karena pada pelaksanaannya hanya menguntungkan salah satu pihak saja dan dengan dikeluarkannya undang-undang ini semakin menambah penderitaan rakyat. Dalam pelaksanaan undang-undang agraria ini terdapat sejumlah hak yang menyangkut masalah hak atas milik da sewa tanah. Hak-hak tersebut antara lain :
1. Hak Eigendom
hak ini diberikan oleh pemerintahan kolonial kepada para pemilik modal asing, pemberian hak ini bertujuan agar para pemilik modal asing ini menjalankan usahanya. Ketentuan hak ini terdiri dari letak tanah itu harus berada didalam kota, kepemilikan tanah ini tidak boleh melebih dari 10 bahu. Selain itu, tanah dalam hak eigendon ini tidak dimiliki oleh negara, sehingga kalau ingin meiliki atas tanah ini dengan cara harus membeli tanah tersebut dari rakyat indonesia. Sebuah peraturan yang melarang penjualan tanah milik orang pribumi kepada orang asing tidak menghalang-halangi para pemilik modal asing untuk memiliki hak atas tanah tersebut. Untuk mensiasati larangan tersebut, pembelian hak atas tanah tersebut dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan pemilik tanah orang indonesia itu melepaskan hanya, dan dengan sendirinya hak itu akan diambil oleh negara, setelah itu baru orang asing akan membeli atas hak tanah tersebut. Dengan cara seperti itu maka penjualan itu tidak melanggar peraturan. Selain itu, pada masa itu praktis larangan penjualan tanah orang indonesia kepada pihak asing praktis tidak berlaku.

2. Hak Erfpacht
Hak Erfpacht adalah hak untuk mengunakan tanah milik oraqng lain dengan cara menyewa dan sebagai konsekuensinya mereka harus membayar tiap-tiap tahunnya. Kebanyakan pada saat itu hak ini sangat dibutuhkan sekali oleh para pemilik modal asing. Tanah Hak Erfpacht ini dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu tanah untuk perkebunan besar dan perkebunan kecil, peristirahatan dan perkarangan serta untuk pertanian. Jangka waktu persewaan atas hak ini juga berlainan, untuk pertanian jangka waktu yang diberikan adalah 75 tahun. Pemegang hak ini diwajibkan membayar pada waktyu setelah persewaan itu berjalan selama 6 tahun, namun apabila penyewa dalam 5 tahun berturut-turut tidak mendapatkan hasil, maka penyewa itu dibebaskan dari pajak sewa. Pada pelaksanaan hak untuk perkebunan besar ini banyak sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti sewa tanah yang lebih rendah, luas tanah yang melebihi dari peraturan yang telah ditentukan dan juga luas tanah yang disewakan juga melebihi dari kuota yang telah ditentukan seluas 500 bahu.
Pada bidang pertanian, hak ini mempunyai jangka waktu 25 tahun, kebanyakan hak ini digunakan oleh orang-orang yang mempunyai kelas ekonomi menengah ke bawah. Sama seperti kebanyakan pelaksanaan dalam sebuah peraturan, disini juga terdapat banyak sekali penyimpanag-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaannya.

3. Hak Konsensi
Hak ini diberikan dengan tujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pemilik modal untuk menanamkan modalnya di sektor pertanian dengan mendapatkan tanah yang seluas-luasnya. Daerah swapraja berhak memutuskan kepada hak ini akan diberikan, akan tetapi dalam kenyataanya hak ini banyak diberikan kepada orang-orang Belanda maupun rekan-rekan bisnis mereka.. dalam sistem ini terdapat tanah yang disebut dengan Tanah Jaluran, tanah ini merupakan sebuah kebijakan yang berusaha menghindarkan kewajiban untuk memberikan tanah bagi para penduduk yang berada dalam wilayah konsensi, dengan adanya tanah jaluran ini memberikan sebuah efek terjadinya suatu ketimpangan sosial anatara para tuan tanah dengan rakyat yang berada dalam wilayah konsensi, dikarenakan sistem ini memberikan keuntungan yang sangat besar kepada para tuan tanah dan sebaliknya itu di pihak rakyat memberikan penderitaan yang luar biasa dikarenakan kekurangan lahan sehingga berakibat hasil dari panennya itu tidak cukup untuk mencukui kehidupan hidup.

4. Hak Sewa
Para pemilik modal yang memiliki cukuo modal untuk berinvestasi memerlukan lahan yang cukup luas dalam jangka waktu yang relatif lama ( biasanya tanah yang memiliki jang sewa yang relatif lama digunakan sebagai tempat perkebunan ) juga memerlukan tanah dalam waktu yang relatif pendek yang digunakan untuk menanam tanaman seperti tembakau dan nila. Untuk menjamin kesemuanya itu, maka permerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang sewa tanah yaitu Groundhuur Ordonantie. Dengan dikeluarkan undang-undang sewa tanah ini mengakibatkan rakyat tidak leluasa lagi dalam menanam ditanahnya sendiri. Undang-undang ini sangat menguntungkan bagi para pemilik modal dikarenakan para pemilik modal ini mendapat jaminan dari pemerintahan kolonial dan juga diberi kemudahan dalam melakukan sebuah persewaan. Selain itu, walaupun dalam sewa tanah ini berdasarkan atas dasar suka rela, namun pada kenyataannya penduduk seperti dipaksakan untuk menyewakan tanah-tanahnya. Hal ini bisa terjadi dikarenakan adanya suatu premi kepada lurah dari para pemgusaha, sehingga pengusaha dapat melakukan sebuah perintah halus kepada lurah agar memerintahkan rakyatnya untuk menyewakan tanahnya kepada para pengusaha.
Dengan dikeluarkannya undang-undang agraria ini yang semula ingin sedikit meringankan penderitaan rakyat, namun pada pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan sistem-sistem yang telah diterapkan sebelumnya yaitu bahwa penderitaan tidak berkurang sedikitpun, akan tetapi peranan dari pemerintahan kolonial semakin berkurang dengan masuknya para investor yang menanamkan modalnya untuk melakukan sebuah investasi. Di lain pihak, masalah tanah semakin berkembang pesat dikarenkan padawaktu itu banyak sekali transaksi-transaksi yang berupa sewa tanah yang dilakukan oleh para pemilik modal yang bertujuan untuk mengembangkan usahanya.

Campur tangan pemerintah dalam lalu lintas pertanahan
Pemindahan hak tanah dari orang-orang Indonesia kepada para pemilik modal asing tidak diperbolehkan dan pada tahun 1875 peraturan ini lebih dipertegas, maka untuk mempergunakan tanah milik rakyat para pemilik modal harus menyewa. Proses penyewaan tanah milik rakyat inni harus sesuai dengan peraturan Grondhuur Ordonantie dimana hak penyewaan tanah itu milik pribadi dan bukan milik desa. Peraturan yang menyatakan bahwa ada laranagan penjualan tanah milik rakyat kepada pemilik modal mengakibatkan terjadinya banyak sekali penyimpaangan-peenyimpangan. Pada tahun 1894 dalam perusahaan-perusahaan gula banyak sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan, maka dikaarenakan permasalaha itu pemerintah kolonila mengadakan suatu investivigasi terhadap pabrik-pabrik gula dan sebisa mungkin untuk membrantasnya. Pemerintah menyuruh residen untuk lebih memperhatikan betapa pentingnya sebuah peranan yang dipegang suatu ikatan desa. Pemerinthana kolonila beranggapan bahwa, apabila sebuah sistem ini dilakukan secara kasar maka akan menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Untuk menghindari bertambahya persaingan yang hebat dalam masalah sewa tanah, maka pada tahun 1894 pemerintah mengeluarkan sebuah keputusan agar dalam perluasan dan pendirian sebuah perusahaan itu harus terlebih dahulu memiliki izin. Sebuah peraturan kembali dikeluarkan pemerintah tentang seewa tanah yang dikeluarkan para tahun 1895 , dalam peraturan ini pemerinthan memaksa kepada semua pihak agar mendaftarka setiap transaksi-transaksi yang menyangkut masalah sewa tanah dan apabila itu tidak dilakukan maka akan dikenai sebuah sangsi. Perkembangan sewa tanah yang dianut oleh pemerintah adalah sewa tanah perorangan dan bukan komunal (walaupun dalam kenyataanya sewa tanah secara komunal banyak terjadi ) dalam Grondhuur Ordonantie dijelaskan, bahwa menyewa tanah seacara komunal itu diperbolehkan. Hal ini diperbolehkan karena masih kurangnya kesadaran dan pengertian masyarakat tentang hakekat dan peraturan tentang sewa tanah.
Pemerintah selain mengeluarkan peratura-peraturan tentang sewa tanah, pemerintah juga mengeluarkan peraturan tentang perlindungan terhadap masyarakat yang menyewakan tanah mereka. Dalam lalu lintas sewa tanah pada abad 19 ini lebih menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Adanya suatu kepastian penjaminan terhadap sewa tanah kepada para penyewa ini membuat para pemilik modal dengan kekuatan ekonomi mereka, dalam sewa tanah kebanyakan dari mereka melakukan dengan cara pemaksaan tanpa takut kepada larangan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Di satu sisi, jangka waktu penyewaan tanah diperpanjang oleh pemerintah yang bertujuan untuk memperlancar berdirinya suatu industri. Perindungan dari pemerintaha yang terbesar adalah pada tahun 1918 dengan mengijinkan untuk menyewa tanah dalam jangka waktu 2 ½ tahun dan juga menetapkan batah minimum sewa tanah yang hars dibayarkan tiap tahunnya. Hal ini sangat bertentangan dalam peraturan dikarenakan dalam peraturan sewa tanah disebutkan, bahwa suatu batas minimum harga sewa tanhan ini tidak boleh dari apa yang akan mereka terima apabila tanah itu dipergunakan untuk berbagi hasil.

Dampak dari masuknya tanah dalam lalu lintas perekonomoian
Kehidupan masyarakat yang terdiri dari hasil, Kerja dan Tanah. Ketiga proses ini tejadi secara disengaja melalui sebuah usaha, akan tetapi proses pertumbuhan dari ketiga proses itu bukanlah diakibatkan dari kekuatan-kekuatanyang terdapat dalam masyarakat. Salah satu hal yang sangat berpengaruh dalam periode ini adalah Uang, karena dengan uang tersebut bisa mengubah cara pandang hidup masyarakat desa pada saat itu. Bagi kebanyakan masyarakat pada saat itu dengan adanya sewa tanah dan pembukaan lahan baru tidak memberikan sebuah pecerahan hidup ke arah yang lebih baik, bahkan pada abad ke-20 awal, kehidupan rakyat sangat menyedihkan dan ditambah lagi pada masa itu terjadi kekuarangan bahan makanan dan kegagalan panen. Hal ini ditambah lagi terjadinya peledakan jumlah penduduk sehingga hal ini membuat kehidupan rakyat menjadi lebih sengsara. Kehidupan masyarakat pada saat itu semakin menderita dengan tekanan dari pajak yang begitu tinggi yang harus mereka tanggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar