Senin, 18 Januari 2010

Pembangunan Pasar Klithikan Notoharjo dan Upaya Perbaikan Citra Tentang Silir

Menindaklanjuti Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tinggkat II Surakarta Nomor: 462.3/094/1/1998 tentang Penutupan Kampung Silir Sebagai Tempat Resosialisasi, dimana salah satu keputusan tentang bekas lahan resosialisasi beserta perluasaannya sesuai dengan kebutuhan akan direncanakan untuk pembangunan fasilitas umum berupa pasar induk hasil bumi dan fasilitas transpotasi, maka pemkot telah membuat sebuah desain dimana eks resosialisasi Silir akan dijadikan pasar Klithikan Semanggi, pasar rakyat yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan.
Pembangunan pasar Klithikan selain untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan, pembangunan ini juga berupaya untuk penataan tata ruang kota Solo yang cenderung kumuh dan tidak tertata dengan baik ke arah yang lebih baik lagi, maka dari itu banyak tempat yang selama ini terkesan kumuh oleh Pemkot Di relokasi. Salah satunya adalah para PKL yang berada di sekitar Monumen 45 Banjarsari, untuk relokasi tersebut maka Pemkot telah menyiapkan lahan di Semanggi Seluas 11,950 meter persegi. Di atas lahan tersebut dibangun kios sebanyak 1.018 buah dan sarana prasarana lainnya, diantaranya parkir mobil dan sepeda motor, koridor, kantor pengelola, mushola dan sarana dan fasilitas umum lainnya.
Pemilihan Semanggi bukan tanpa pertimbangan seksama, karena wilayah ini ditunjang beberapa potensi, diantaranya sarana dan prasarana transpotasi lengkap; adanya pusat-pusast kegiatan sebagai pemacu pertumbuhan kawasan yang berupa pasar besi, pasar ayam, pasar klithikan, pasar rakyat, rumah toko (ruko), sub terminal dan bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel dan restoran, rumah sakit serta tempat ibadah.di samping Semanggi juga terleta di kawasan pertumbuhan wilayah perbatasan. Selain itu juga, secara historis pemilihan tempat ini juga untuk merubah pandangan masyarakat tentang wilayah Silir yang selama ini lebih terkenal sebagai tempat yang dijadikan aktivitas pelacuran untuk menjadi lebih baik lagi dan tidak lagi terkenal sebagai tempat pelacuran.
Proses pembangunan pasar sendiri memakan waktu kurang lebih 90 hari serta biaya Rp. 5.126.250.000,00. Relokasi PKL dari Banjarsari ke Semanggi dilakukan setelah tahap pembangunan fisik kios dan kelengkapan fasilitas pasar. Proses pembangunan sendiri selesai pada tanggal 27 juni 2006 dengan masa tenggang 14 hari sehingga pasar dapat digunakan mulai tanggal 11 juli 2006.
Untuk menyiasati suatu kecemburuan dan konflik antar pengguna kios, Pemkot bekerja sama dengan paguyuban pedagang PKL Banjarsari melakukan suatu pengundian untuk memilih tempat berjualan para pedagang, agar tidak timbul suatu kecurigaan dalam pengundian tersebut metode dan ketentuan tentang tata cara pengundian telah disepakati bersama sebelumnya. Setting kios pasar sendiri terbagi dalam 18 blok berdasarkan jenis dagangan yang diperjual belikan. Sesuai tahap pelaksanaan undian, pedagang ”diikat” sebuah perjanjian tertulis agar mereka mematuhi pembagian zoning, hasil undian dan ketentuan lainnya yang berlaku mengenai pasar. Salah satu hal penting dalam perjanjian itu adalah komitmen dari para pedagang untuk tidak menjual atau mengalihkan hak penempatan kios yang menjadi jatahnya. Komitmen ini sangat penting karena relokasi ini oleh pemerintah kota diberi kemudahan mendapatkan Surat Hak Penempatan (SHP), Surai Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) tanpa membayar alias gratis.
Tanggal 23 Juli 2006 kota Surakarta mempunyai Gawe besar berupa prosesi kirab budaya yang menandai boyongan resmi para pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan Monumen ’45 Banjarsari menuju lokasi yang baru yaitu Pasar Klithikan Notoharjo. Peristiwa ini merupakan suatu hal yang langka dan baru pertama kali terjadi ”Bedhol Desa” PKL yang melibatkan pedagang kaki lima dalam jumlah kurang lebih 989 pedagang. Mereka secara resmi meninggalkan lokasi tempat berdagangh lam di Monumen ’45 Banjarsari yang akan dikembalikan sebagai ruang publik, untuk memulai hidup baru di pasar yagn telah di desain secara khusus oleh Pemkot untuk perdagangan klithikan di kawasan Semanggi.
Boyongan PKL ini menandai akhir sebuah upaya panjang yang tidak saja membutuhkan keuletan, kerja keras dan kesabaran yang luar biasa tetapi juga penuh liku-liku karena sempat diwarnai penolakan para PKL serta wacana tentang relokasi PKL monumen banjarsari sebenarnya sudah berlangsung lama. Tercatat sudah tiga kepemimpinan Walikota mencoba merelokasi. Di mulai dari era kepemimpinan Imam Sutopo kemudian dilanjutkan pada masa Walikota-Wakil Walikota Slamet Suryanto – J Soeprapto, hingga akhirnya ke masa kepemimpinan Walikota – wakil Walikota Joko Widodo – FX Hadi Rudyatmoko. Bahkan sebuah pembangunan yang pembiayaannya dibantu anggaran dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah berdiri di Semanggi untuk digunakan relokasi namun hingga bangunan ini mangkrak dan rusak terjadi tari ulur sehingga isu relokasi tak kunjung tuntas bahkan menjurus ke permasalahan yang sangat kompleks.
Proses relokasi yang berjalan lancar dan tanpa ada suatu tindakan kekerasan oleh Pemkot Surakarta merupakan kredit poin tersendiri bagi kepemimpinan Walikota – Wakil Walikota, Joko Widodo – FX Hadi Rudyatmoko. Karena itu, keberhasilan ini bukan berarti penataan tata ruang serta Permasalahan PKL di kota Surakarta telah selesai, tetapi hal ini dijadikan suatu momentum oleh Pemkot untuk mewujudkan Solo yang BERSERI segera tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar